Penulis: Eto Boymau (Tim Pengarsipan MEREKAM KOTA 2022)
Salah satu dari beberapa fotografer keliling pertama di Kota Lama yang masih aktif melakukan kegiatan fotografi hingga saat ini adalah Samuel Doma. “Om Samuel”, begitulah biasanya orang-orang di Kota Lama yang menggunakan jasa fotonya menyapanya. Pria kelahiran Sabu 17 Desember 1952 ini, sekitar tahun 1960 bersama keluarga angkatnya di Batu Putih pindah dan menetap di Kota Lama tepatnya di Kelurahan Bonipoi.
Setelah tamat SD Samuel Doma tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat lanjutan. Sehingga dia mengisi hari-harinya dengan membantu ibu berjualan nasi bungkus di Pasar Kampung Solor. Ketika memasuki masa remaja di tahun 1970, Samuel Doma mulai bekerja untuk mencari penghidupan secara mandiri sebagai penebang kayu dan juga terkadang menjadi kuli bangunan. Ia pun kemudian menikah di tahun 1974.
Ketika mesin sensor kayu mulai masuk ke Kupang di awal tahun 1980an, profesi sebagai penebang kayu yang masih menggunakan gergaji mulai tergantikan. Tetapi bermodalkan keberanian, Samuel Doma memutuskan beralih profesi menjadi fotografer keliling pada bulan Januari 1983 dengan kamera analog YASHICA MG-1.
Di awal karir sebagai fotografer, dia belajar otodidak dan memilih menjadi fotografer keliling di Kota Lama karena sudah ada beberapa studio foto seperti Prima Foto dan Sinar Jaya. Sehingga menurutnya dengan berkeliling akan lebih mudah mendapat pelanggan.
Menurut Samuel Doma, dulu di awal karir sering dikira wartawan karena sering berkeliling dengan jalan kaki membawa kamera. Upaya tersebut ikut mempengaruhi kebiasan aktivitas fotografi masyarakat di Kota Lama. Seperti kebiasaan berfoto di studio, kini bisa menggunakan jasa fotografer untuk berfoto dimana saja, seperti di pasar, di rumah, di sekolah, di pantai dan di gereja.
Salah satu tren yang dibuat oleh Samuel Doma untuk pelanggan foto kelilingnya yaitu, hasil foto yang telah dicuci akan dicetak kemudian digunting sesuai bentuk yang diinginkan. Kemudian ditempel pada latar atau pemandangan yang disukai atau sesuai pesanan. Foto-foto tersebut akan difoto ulang kemudian dicetak lagi. Cara ini kemudian menjadi tren dan sering digunakan untuk membuat kartu ucapan, mempercantik album pribadi, atau sebagai hadiah.
Memasuki tahun 2010, studio di Kupang yang melayani cuci cetak film berangsur-angsur berkurang. Pada saat itu, Samuel Doma hampir memutuskan untuk berhenti menjadi fotografer. Namun karena beberapa pertimbangan, dukungan dari keluarga dan teman-teman, dia memutuskan tetap bertahan menjadi seorang fotografer dengan ikut belajar dan menyesuaikan diri berganti kamera dari analog ke digital.
Kini diusia yang hampir memasuki angka 72 tahun, Samuel Doma tidak lagi berkeliling di Kota Lama namun tetap menerima panggilan foto ke beberapa sekolah seperti SMPN 1 Kupang dan SD Inpres Bonipoi. Waktu terus berjalan, tren dan teknologi pun terus berkembang namun Samuel Doma sebagai fotografer keliling terus bertahan dan menyesuaikan diri hingga saat ini.***
Sumber:
Wawancara Opa Samuel Doma