Penulis: Thevwil Wangge (Tim Pengarsipan MEREKAM KOTA 2022)
Orang-orang Tionghoa memiliki tempat dalam perjalanan Kota Kupang dari masa ke masa, baik dalam aktivitas ekonomi, sosial dan budaya. Ada masa ketika kedudukan orang-orang Tionghoa dihadapkan pada peraturan-peraturan yang mengatur, membatasi bahkan mengekang setiap jengkal kehidupan mereka. Terbitnya PP10 Tahun 1959 juga merupakan satu titik penting dalam lini masa kehidupan orang Tionghoa dan memori tentang Kupang sebagai suatu ruang.
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 10 Tahun 1959 yang diterbitkan Presiden Soekarno dan dilaksanakan oleh Menteri Perdagangan Rachmat Mujomisero menetapkan larangan orang asing berusaha dagang kecil dan eceran di luar Ibu Kota Daerah Swatantra tingkat I dan II serta Keresidenan. Artinya, di tingkat kabupaten, pedagang eceran wajib mengalihkan usaha mereka kepada Warga Negara Indonesia. Hal ini mengakibatkan ribuan orang-orang Tionghoa di Kupang dipulangkan ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Upaya pemulangan ini dilakukan oleh Pemerintah RRT dengan mengirimkan sebuah kapal untuk mengangkut warga negaranya kembali.
Kapal penjemputan orang-orang Tionghoa berlabuh untuk pertama kalinya di Pelabuhan Kupang (sekarang Teddy’s). Tujuannya untuk menjemput semua orang-orang Tionghoa di Kupang, tanpa terkecuali. Penjemputan pertama dilakukan dengan merujuk kepada pendataan yang dilakukan di Konsulat Cina. Penjemputan ini disetujui oleh Duta Besar Tiongkok pada waktu itu.
Penjemputan itu tidak berhasil memulangkan semua warga Tionghoa di Kota Kupang, oleh sebab itu Konsulat RRT bersepakat untuk melakukan penjemputan yang kedua. Saat itu orang-orang Tionghoa yang menunggu kedatangan kapal penjemputan kedua tinggal dan beristirahat di Rumah Abu Keluarga Lay, yang menjadi titik berkumpul mereka. Namun, hingga saat ini penjemputan kedua itu tidak pernah terjadi, kapal penjemputan itu tidak pernah kembali ke Pelabuhan Kupang.
Terkatung-katungnya rencana pemulangan warga Tionghoa yang bermukim di Kupang memunculkan polemik status kewarganegaraan mereka. Akhirnya Pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan tentang status kewarganegaraan orang-orang Tionghoa yang memungkinkan mereka menetap dan tinggal di Indonesia, termasuk bagi warga Tionghoa di Kupang. Namun, status mereka tetaplah sebagai Warga Negara Asing (WNA). Hal ini tetap menyulitkan mereka mereka dalam melakukan berbagai aktivitas, sosial maupun ekonomi.
Tidak sedikit orang-orang Tionghoa di Kupang yang mengalami kebangkrutan setelah pemberlakuan PP10. Namun setelah 34 tahun berlalu, status kewarganegaraan orang-orang Tionghoa yang gagal dipulangkan ke RRT mendapat titik terang. Pemerintah RI memutuskan untuk membuka pendaftaran WNA menjadi WNI secara massal di seluruh wilayah NKRI.
Proses masuk menjadi WNI bagi orang-orang Tionghoa di Kota Kupang sangatlah berbelit-belit dan memakan waktu. Berbagai persyaratan, prosedur dan proses yang sangat panjang harus dilalui orang-orang Tionghoa demi bisa menyandang status resmi sebagai seorang Warga Negara Indonesia (WNI). Dari segi administrasi sendiri, orang-orang Tionghoa di Kota Kupang perlu menyiapkan sejumlah berkas dan dokumen-dokumen yang perlu dilampirkan sebagai persyaratan masuk menjadi WNI. Persyaratan tersebut berupa Surat Keterangan Lahir, Surat Keterangan Mata Pencaharian, Surat Keterangan Tempat Tinggal, serta Surat Keterangan Menikah dan beberapa persyaratan lain yang di keluarkan oleh petugas Kepolisian Resort (Polres) Kupang. Selain proses dan prosedur pendaftaran yang memakan waktu, yang paling miris dari serangkaian lika-liku pendafataran kewarganegaraan ini adalah uang. Sebagian orang-orang Tionghoa di Kota Kupang mengeluhkan biaya masuk menjadi WNI yang sangatlah mahal, biaya administrasi untuk masuk menjadi WNI mencapai Rp. 750.000. Pihak ketigapun menjadi pilihan orang-orang Tionghoa di Kota Kupang untuk membantu mereka mendaftarkan diri atas dan untuk nama mereka, agar proses panjang yang memakan waktu itu tidak perlu dirasakan oleh mereka.
Keresahan akan status dan proses panjang untuk mejadi WNI tidak hanya di rasakan oleh orang-orang Tionghoa di Kota Kupang pada waktu itu, namun hal ini juga menjadi keresahan warga Kota Kupang yang turut prihatin dengan begitu berbelit-belit dan mahalnya proses masuk menjadi WNI bagi orang-orang Tionghoa di Kota Kupang.
Kupang, 1994
Berdasarkan Koran Pos Kupang edisi terbitan Juli 1994, sebanyak 176 WNA yang berdomisili di Kecamatan Kupang Selatan pada waktu itu, diajak masuk menjadi WNI. Sebanyak 176 undangan di berikan kepada mereka guna mendapatkan informasi dan mendaftarkan diri sebagai WNI. Selain pendaftaran diri menjadi WNI, undangan ini diberikan dengan maksud memberikan penyuluhan bagi orang-orang Tionghoa di Kota Kupang tentang berbagai macam prosedur dan persyaratan yang dibutuhkan, serta untuk memudahkan mereka yang mengalami kesulitan selama proses pendaftaran menjadi WNI.
Selasa, 12 Juli 1994 tercatat 77 orang dari 197 orang WNA berhasil mendaftarkan diri sebagai WNI, 77 orang WNA tersebut terdiri dari 26 orang anak dibawah umur dan 51 orang dewasa berusia 18 tahun keatas.
Hingga Jumat, 22 Juli 1994 tercatat 147 orang WNA berhasil masuk menjadi WNI. 140 orang dari 197 orang WNA mendaftar sebagai WNI, 111 orang diantaranya akan diproses sesuai regulasi dan ketentuan yang berlaku karena berusia di atas 18 tahun, 29 orang lainnya otomatis akan mengikuti status orang tua masuk WNI karena berusia di bawah 18 tahun. Lantas Masih tersisa 57 orang WNA dari 197 orang WNA yang bersomisili di Kecamatan Kupang Selatan yang belum melakukan pendaftaran.
Namun, kita tidak pernah tahu bagaimana nasib orang-orang Tionghoa di Kota Kupang yang tidak mendapatkan undangan, bagi mereka yang tidak masuk dalam data statistik jumlah WNA di Kota Kupang, dan juga bagaimana dengan status kewarganegaraan dan nasib orang-orang Tionghoa yang tidak terdata di Kota Kupang.
Sekolah Cina
Keberadaan orang-orang Tionghoa di Kota Kupang ditandai juga dengan adanya peninggalan-peninggalan yang menjadi saksi sejarah perjalanan panjang kehidupan orang-orang Tionghoa di Kota Kupang. Salah satu diantaranya adalah Sekolah Cina yang sudah lama beroperasi. Dari berbagai informasi yang berhasil dikumpulkan, keberadaan Sekolah Cina di Kota Kupang sendiri sudah ada sejak sebelum tahun 1918. Sekolah Cina yang terletak di Kota Kupang bernama Chung Hwa Chung Hoei/Chung Hua Chung Hui. Sekolah Cina ini terdiri dari SD dan SMP, Chung Hwa/Chung Hua merupakan SD dan Chung Hoei/Chung Hui merupakan SMP, bangunannya pun masih ada sampai saat ini.
Dari informasi yang berhasil didapat dari hasil wawancara dengan beberapa narasumber, mereka menggambarkan lokasi Sekolah Cina di Kota Kupang, tepatnya jika kita dari arah Pantai Teddy’s mengikuti Jalan Siliwangi kurang lebih 350 meter dari Pantai Teddy’s, tepat depan Toko Ujung Pandang terdapat sebuah jalan masuk. Dari jalan masuk depan Toko Ujung Pandang sekitar 100 meter kedepan, tepat di sebelah kanan, terdapat sebuah gedung berwarna putih yang berukuran cukup besar, Gedung itulah yang merupakan gedung bekas Sekolah Cina dulu. Gedung tersebut berada tepat di belakang Toko Caycong yang berada di Jalan Sriwijaya.
Sekolah Cina pun dikhususkan bagi orang-orang Tionghoa saja baik guru maupun muridnya. Efek dari PP10 ini berdampak juga bagi orang-orang Tionghoa yang bersekolah di Sekolah Cina, pasalnya orang-orang RRT yang memilih menjadi WNI diharuskan untuk keluar dari Sekolah Cina. Teddy Tanonef merupakan satu dari banyaknya orang-orang Tionghoa yang bersekolah di Sekolah Cina dan terkena dampak ini. Teddy Tanonef mengatakan bahwa Ia hanya bersekolah di Sekolah Cina sampai tingkat menengah saja (SMP) kemudian beliau memilih menjadi WNI dan diharuskan keluar dari Sekolah Cina. Beliau melanjutkan pendidikan di SMA Kristen. Dampak ini bukan hanya bagi mereka memilih menjadi WNI saja, bahkan jika salah satu dari orang tua mereka bersatus WNI maka anaknya tetap dikeluarkan dari sekolah tersebut.
Sejarah panjang orang-orang Tionghoa di Kota Kupang, mewarnai setiap lika-liku proses perkembangan dan pertumbuhan Kota Kupang. Begitu banyak memori di masa lalu yang memberikan kenangan manis dan pahit dalam perjalan hidup mereka dan perkembangan Kota Kupang dari waktu ke waktu.
Kini, orang-orang Tionghoa di Kota Kupang setelah melewati begitu banyak proses dan perjuangan, mereka akhirnya bisa menghirup udara segar kota ini, setiap jengkal keresahan orang-orang Tionghoa di Kota Kupang akhirnya sirna. Mereka kini dapat beraktivitas, berinteraksi, berkerja, bersekolah dengan baik dan layak sesuai dengan harapan hidup dan doa-doa mereka.***
Sumber :
Wawancara Teddy Tanonef. LLBK, 31 Maret 2022
Wawancara Roy Selan. LLBK, 27 April 2022
Wawancara Roy Lay. Rumah Abu Keluarga Lay, LLBK, 14 Mei 2022
Wawancara Salmun Bissilisin. Jalan Pemuda, 19 Mei 2022
Wawancara Samuel Doma. Matani, 25 Juni 2022
Badan Perpustakaan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Bagian Depot Arsip. Koran Pos Kupang Edisi Juli 1994.