Penulis: Eto Boymau (Tim Pengarsipan MEREKAM KOTA 2022)
Ketika Ruang berkumpul diartikan sebagai sebuah rongga yang berbatas atau terlingkung oleh bidang, maka secara tidak langsung akan memberikan batas untuk ruang itu sendiri. Namun ketika Ruang berkumpul diartikan sebagai sebuah tempat di mana semua orang bisa berekspresi, bertukar pikiran, atau bahkan sebagai tempat membangun mimpi bersama, maka itulah arti ruang berkumpul yang sebenarnya. Sehingga ruang bukan lagi tentang bentuk fisik dari sebuah tempat yang tetap, melainkan ruang merupakan setiap pertemuan berbagai pemikiran ataupun pertemuan fisik yang membentuk ruang pada saat itu juga, dan dapat menjadi pembentuk ruang berkumpul lain di masa depan.
Kebiasaan berkumpul merupakan sesuatu yang sering dilakukan masyarakat di Kota Lama. Kebiasaan ini akhirnya membentuk banyak ruang berkumpul di Kota Lama. Olahraga merupakan suatu kegiatan yang membentuk ruang berkumpul di Kota Lama. Olahraga menjadi tempat pertemuan berbagai orang dari berbagai kalangan masyarakat. Baik yang menjadi pemain dari olahraga tersebut ataupun yang hanya menjadi penonton dari suatu kegiatan olahraga.
Basket di Kota Lama

Di awal kemerdekaan di sekitar tahun 1950 an salah satu kegiatan olahraga yang sering dilakukan di Kota Lama adalah basket. Bisa dikatakan bahwa olahraga basket pada saat itu merupakan olahraga mahal yang hanya dimainkan oleh orang-orang berada. Yang menyebabkan basket menjadi eksklusif adalah salah satunya karena lapangan untuk bermain basket yang harus memadai. Dimana pada saat itu lapangan basket yang memadai di Kota Lama sangatlah terbatas.
Pada suatu kesempatan saat Tim Pengarsipan berkunjung ke rumah Opa Leo (Leopold Nicolaas Nisnoni), untuk melihat arsip keluarga dan mendengarkan cerita dari Opa Leo, dia menceritakan bahwa permainan basket pada awalnya di Kota Lama hanya dimainkan oleh orang- orang suku Tionghoa. Penyebabnya adalah karena pada saat itu orang dari suku Tionghoa membangun lapangan basket mereka sendiri, yang bernama Lapangan Merah di dekat Toko Wirama. Selain itu orang dari suku Tionghoa pada saat itu juga sering mendapat diskriminasi ketika bergabung dengan tim olahraga lain. Sehingga untuk bermain basket orang dari suku Tionghoa membentuk perkumpulannya sendiri. Dan perkumpulan ini tersebar di seluruh Indonesia.
Pada tahun 1958 Opa Leo merupakan orang pertama dari luar suku Tionghoa yang bergabung dengan klub basket Chung Hua Chung Hui, yang setelah peristiwa 65 berganti nama menjadi Naga Timur. Hal ini dapat dilihat dari salah satu arsip foto yang dimiliki Opa Leo yang menunjukan anggota tim basketnya dulu. Menurut Opa Leo, dia dapat bergabung dengan tim basket itu, karena sebelumnya dia sudah sering bermain basket ketika bersekolah di Belanda dan Bandung. Setelah itu Opa Leo juga mengajak salah satu temannya yang bernama Soul Therik untuk bergabung dengan klub ini.
Basket di Kota Lama terus berkembang dan tidak lagi hanya dimainkan oleh orang dari suku Tionghoa tapi juga dimainkan oleh semua orang dari berbagai latar belakang di Kota Lama. Perkembangan ini diikut sertai juga dengan perubahan ruang berkumpul yang diciptakan oleh olahraga basket. Dimana basket tidak lagi hanya menjadi ruang berkumpul bagi orang-orang Tionghoa, tapi basket akhirnya bisa menjadi ruang bagi semua orang dari berbagai latar belakang. Basket yang menjadi ruang berkumpul bagi semua orang juga menjadi sesuatu yang sangat berkesan bagi Opa Leo, karna dia pertama kali bertemu dan jatuh cinta kepada Oma (Adeleida Bertje Amalo-Djawa) adalah ketika bertemu di lapangan basket. Dimana saat itu oma merupakan salah satu pemain basket wanita di Kupang yang bahkan pernah mewakili NTT mengikuti PON.
Tinju di Kota Lama
Seiring berjalanya waktu, olahraga juga terus berkembang di Kota Lama. Memasuki tahun 1960 an salah satu olahraga yang berkembang di Kota Lama ialah tinju. Perkembangan ini ditandai dengan dibentuknya sasana tinju di Kota Lama yang bernama Oeba Boxing Club (OBC). OBC dibentuk oleh Apol Edon. Pada salah satu kesempatan saat Tim Pengarsipan mengunjungi rumah Opa Apol Edon di Oeba yang merupakan markas sekaligus tempat latihan dari OBC, kami dapat melihat banyak catatan sejarah perjalanan OBC dari berbagai arsip foto maupun beberapa piala yang pernah dimenangkan petinju dari sasana OBC, yang semuanya masih terpajang rapi di rumah tersebut. Pada masa itu minat masyarakat terhadap tinju cukup tinggi sehingga banyak anak muda yang bergabung untuk berlatih di OBC yang berasal dari berbagai tempat di Kota Lama maupun di seluruh Kota Kupang.


OBC melahirkan beberapa petinju hebat yang berprestasi hingga tingkat nasional seperti Anis Tefa dan Yohanis Neonane yang merupakan peraih medali emas di PON. OBC juga rutin mengadakan pertandingan Tinju yang diberi nama OBC Cup. OBC Cup rutin diselenggarakan setiap enam bulan sekali atau satu tahun sekali. OBC Cup biasanya diselenggarakan di Stadion Merdeka. Dapat dilihat dari salah satu arsip foto milik keluarga Edon, yang menunjukkan betapa antusiasnya masyarakat berkumpul menyaksikan turnamen ini. OBC terus berjalan dan berkembang, bahkan beberapa dari anggota sasana akhirnya membentuk sasana mereka sendiri. Amor Patria adalah salah satu sana yang dibentuk oleh anggota sasana OBC. Dapat lihat bahwa olahraga sebagai suatu ruang berkumpul di suatu masa akhirnya membentuk ruang berkumpul baru di masa depan.
Tinju terus berkembang di Kota Lama, hingga tahun 1970an mungkin dapat dikatakan sebagai puncak eksistensi dari olahraga ini. Hal ini ditandai dengan terbentuknya berbagai sasana baru seperti CMI, Garuda dan juga PGMI. Tinju menjadi sangat eksis di masa itu juga karena ada banyak turnamen tinju yang sering diadakan. Pada saat itu tinju menjadi ruang berkumpul yang sangat digemari masyarakat di Kota Lama. Bahkan di masa itu, pada saat pagelaran Taman Hiburan Rakyat (THR) yang merupakan perayaan hari besar nasional, tinju menjadi salah satu hal yang dipertandingkan untuk menghibur masyarakat. Saat Tim Pengarsipan berkunjung ke rumah Opa Lius Missa, yang merupakan salah satu warga yang sudah lama menetap di Kota Lama, tepatnya di Kelurahan LLBK, dia menceritakan bahwa pada masa itu, pemerintah sebagai penyelenggara THR bahkan mendatangkan Petinju asal Korea untuk bertanding melawan petinju Kupang bernama Oni Keang di panggung THR, yang dimenangkan oleh Oni Keang.
Voli di Kota Lama
Olahraga terus berkembang di Kota Lama hingga pada tahun 1980an olahraga Voli mulai berkembang di Kota Lama dan sekitarnya. Beberapa klub voli yang terbentuk dan berkembang di masa itu di kota lama ialah Happy Di Fatufeto, Cendrawasih di Bonipoi, Lambada di Kampung Solor dan juga Tunas Muda di Merdeka. Berbeda dengan basket yang membutuhkan lapangan yang memadai, bermodalkan lapangan beralaskan tanah yang tidak terlalu luas dan dua tiang dari kayu yang dijadikan net, voli sudah bisa dimainkan. Hal ini yang menjadikan voli menjadi olahraga yang sangat dekat dengan masyarakat di Kota Lama. Karena di berbagai tempat di Kota Lama di tengah pemukiman masyarakat terdapat ruang yang digunakan untuk masyarakat berkumpul dan menikmati olahraga voli baik sebagai penonton maupun pemain.

Perkembangan voli pada saat itu juga ikut didukung oleh pemerintah. Lewat suatu kesempatan saat Tim Pengarsipan berkunjung ke rumah Pam Bapa (Berhiman Abrahim Kecil) yang merupakan pembentuk dan sekaligus pelatih klub Cendrawasih, Pam Bapa menceritakan klub voli Cendrawasih biasanya berlatih di lapangan beralaskan tanah di bekas lapangan Sekolah Cina yang berada di kelurahan Bonipoi. Namun pada suatu kesempatan ketika Samuel Lerik (walikota Kupang) berkunjung ke Bonipoi, dan melihat lapangan tempat latihan dari klub Cendrawasih, beliau kemudian memberikan sumbangan sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah, kepada Pam Bapa untuk merenovasi lapangan tersebut.
Tim Pengarsipan juga berkesempatan mengunjungi rumah Opa Adi Abel dan Opa Oni Bissilissin yang merupakan pemain dan pelatih di klub voli Happy. Lewat catatan arsip foto yang Tim Pengarsipan dapat dari keluarga Oni Bissilissin dan keluarga Adi Abel, terlihat salah satu klub voli yang berkembang pada masa itu ialah club Happy. Happy dibentuk di Fatufeto pada tahun 1980 an. Bermula dari kebiasaan berkumpul pemuda di Fatufeto untuk bermain voli di depan lapangan beralaskan tanah di depan rumah Opa Oni Bissilissin, akhirnya terbentuklah Ikatan Voli Fatufeto (IVF) dan beerkembang menjadi club voli Happy.
Happy menjadi salah satu klub yang sangat berkembang dan dan terkenal di masa itu yang dapat dibuktikan dengan banyaknya kejuaraan yang dimenangkan. Happy tidak hanya menjadi klub yang beranggotakan pemuda di Fatufeto melainkan Happy juga beranggotakan pemain yang berasal dari berbagai tempat di Kota Lama dan sekitarnya. Happy menjadi ruang berkumpul yang menyatukan pemain dari berbagai latar belakang, baik itu yang masih bersekolah, pekerja kantoran, anggota TNI POLRI dan berbagai latar belakang lainnya. Happy terus berkembang dan tetap menjadi ruang berkumpul hingga sekarang, meskipun tak seeksis dulu. Di tahun 2015 Happy dibangkitkan dari tidur panjangnya sejak tahun 1999 dan berganti nama menjadi New Happy yang pada tahun 2019 lalu ikut bertanding dan menjurai turnamen STIKOM Cup.

Di masa kini Tinju dan Voli tak lagi seeksis masanya di kota lama dulu. Di masa sekarang perkembangan olahraga di kota lama mengikuti perkembangan olahraga yang umumnya ada di Kota Kupang seperti Futsal. Masyarakat Kota Lama khususnya kaum muda kini banyak yang menekuni olahraga futsal. Salah satu klub Futsal yang ada sekarang di bonipoi ialah Bonek (Bonipoi Nekat). Nama Bonek adalah nama yang juga dipakai oleh tim sepak bola dari bonipoi yang sudah ada sejak tahun 1980 an.
Terlepas dari semua jenis olahraga yang berkembang di kota lama baik dulu, sekarang dan nanti, olahraga telah dan akan tetap menjadi ruang berkumpul tanpa batas yang memberikan tempat bagi semua orang untuk berekspresi.***
Sumber:
- Wawancara Opa Leopold Nisnoni. Bakunase, 24 Maret 2022
- Wawancara Opa Onnie Bissilissin. Fatufeto 24 Mei 2022
- Wawancara Adi Abel. Fatufeto, 2 Juni 2022
- Wawancara Opa Lius Missa. Bonipoi, 21 Juni 2022
- Wawancara Opa Apol Edon. Oeba, 8 Juli 2022