Penulis: Ifana Tungga (Manager Program MEREKAM KOTA)
Indonesian Canning and Freezing Factory (ICAFF) didirikan pada tahun 1952 dan dipimpin oleh direktur Raja Alfons Nisnoni. Tenaga-tenaga pelaksananya adalah orang-orang Tionghoa yang mengatur beberapa bagian pabrik seperti bagian kaleng, bagian kulit, bagian gudang,dan lain-lain. Pendirian pabrik ini didukung oleh Gubernur Kepulauan Sunda Kecil pada masa itu yaitu Susanto Tirtoprodjo. Di tengah nasionalisasi berbagai usaha milik pribumi untuk menandingi kejayaan para pengusaha Tionghoa, ICAFF berhasil mendapatkan kredit pengusaha pribumi dari Bank Industri Negara. Lahan yang digunakan adalah milik Raja Alfons Nisnoni, terletak di seberang istana kecil Raja Nisnoni.
Gerry van Klinken, dalam The Making of Middle Indonesia, menjelaskan mengenai konteks Indonesianisasi yang sedang terjadi pada masa pendirian ICAFF. Kebijakan yang mulai muncul menjelang akhir masa kolonial ini melarang orang Tionghoa melakukan kegiatan ekonomi dengan modal besar yang bagi Pemerintah Kolonial Belanda dapat dikerjakan oleh orang pribumi. Bank-bank pemerintah memberikan kredit-kredit kecil untuk pengusaha kecil dan menengah pribumi. Pasca perang, Indonesia menasionalkan berbagai kegiatan perekonomian di bawah kebijakan utama Wakil Presiden Mohammad Hatta.
ICAFF mulai melakukan produksi pada tahun 1953. Produk-produk yang diproduksi adalah corned beef, sosis, dan liver paté. Sebanyak 30 ekor sapi yang dipotong setiap hari didatangkan dari Lelogama, Noemuti, dan Baun. Pemerintah lokal mengizinkan 50 orang untuk bekerja di pabrik ini.
Leopold Nisnoni, anak dari Alfons Nisnoni, sempat bekerja di ICAFF sebagai bendahara saat kembali dari Belanda pada tahun 1958. Menurut penuturan Leopold, ICAFF memiliki beberapa pemegang saham. Mereka kebanyakan adalah pedagang besar di Kupang dan raja-raja serta para pemimpin pergerakan. Setiap akhir tahun, dilakukan rapat untuk membagi keuntungan. Kepada Matheos Viktor Messakh, Pieter Rohi menjelaskan mengenai ICAFF,
“Ini memang cita-cita para pemimpin pergerakan. Makanya sebagian pemegang saham adalah para anggota koperasi Timor Verbond yang berfusi dengan Partai Indonesia Raya (Parindra) di Surabaya.”
Rohi menambahkan bahwa para pedagang yang bergabung dalam ICAFF antara lain Lie Tie Pau, eksportir ternak terbesar di Kupang, Umar Bakhtiar, para raja-raja dan pegawai kerajaan, serta para pemimpin pergerakan.
ICAFF adalah kebanggaan orang Kupang di tahun 1950an. Kejayaan ICAFF mungkin dapat dibuktikan dengan kunjungan beberapa tokoh seperti Duta Besar Jepang dan Jenderal Gatot Subroto.
ICAFF mulai mengalami kemunduran secara finansial sejak tahun 1959 ketika Pemerintah memutuskan menurunkan jumlah uang beredar dengan cara memotong dua uang kertas yang memiliki nilai pecahan terbesar saat itu, yaitu Rp500 yang bergambar macan dan Rp1000 bergambar gajah pada tanggal 24 Agustus 1959. Nilai masing-masing diturunkan hingga tinggal 10 persennya saja. Pemerintah melakukan sanering uang pada 25 Agustus 1959 dengan menurunkan nilai uang pecahan Rp500 dan Rp1.000 menjadi Rp50 dan Rp100. Langkah ini dilakukan untuk menangani laju inflasi yang terus berlangsung hingga awal 1960-an. Kebijakan ini berpengaruh terhadap keberlangsungan ICAFF.
Setelah secara berangsur-angsur mengalami kerugian, akhirnya ICAFF resmi ditutup pada tahun 1980. Gedung ICAFF yang terletak di depan Sonaf Nisnoni akhirnya rusak secara bertahap dan harus dihancurkan pada tahun 1985.***
Sumber:
Wawancara Leopold Nisnoni. Bakunase 29 September 2022
Gerry van Klinken, The Making of Middle Indonesia
https://satutimor.wordpress.com/2013/12/29/turun-di-ikaf-ko/