Penulis: James Mage (Peneliti MEREKAM KOTA)
Interaksi dengan budaya asing merupakan salah satu ciri perjalanan panjang sejarah Indonesia. Mulai dari perdagangan, penjajahan, hingga konversi agama semuanya dipengaruhi oleh budaya asing. Interaksi yang sama juga mempengaruhi pertumbuhan tradisi budaya di Indonesia.
Perkembangan musik dan budaya musik di Indonesia, termasuk Kota Kupang juga mengikuti skema ini. Walaupun masing-masing tempat memiliki tradisi sosial budaya yang berbeda, interaksi tersebut mempunyai andil dalam menghasilkan keragaman bentuk musik yang mengandung lokalitas daerah setempat.
Di Kota Kupang sendiri, interaksi tersebut memunculkan grup musik orkes melayu dan keroncong pada pertengahan tahun 1950an hingga pada akhir tahun 1970an. Grup musik orkes melayu yang cukup mempunyai nama pada masa itu adalah Setanggi Timor.
Setanggi Timor adalah grup orkes melayu yang berasal dari Kampung Solor. Nama Setanggi Timor sendiri diambil dari kata “Setanggi” dan “Timor.” Setanggi memiliki arti “wewangian yang harum,” sedangkan Timor mewakili Tanah Timor di mana grup musik orkes melayu tersebut berasal. Jadi, Setanggi Timor memiliki arti “wewangian harum yang berasal dari Tanah Timor.” Secara filosofis, grup musik Setanggi Timor ingin menjadi grup musik orkes melayu yang mengharumkan nama Timor dan membawa hiburan bagi masyarakat Kota Kupang.
Setanggi Timor memliki personil yang cukup banyak, terdiri dari pemain musik, penyanyi, penari dan juga pemain drama. Grup musik ini sering tampil dalam acara pernikahan, ulang tahun, sunatan, acara religi, dan acara lainnya. Jangan Ditanya karangan Ismail Marzuki, Yale Yale, Kudaku Lari Kencang, Hatiku Merasa Senang, dan lagu lainnya yang populer pada jaman itu merupakan lagu-lagu yang sering dibawakan pada setiap kesempatan saat mereka tampil.
Generasi pertama Setanggi Timor terdiri dari Ho’u Talib yang bertindak sebagai vokal, Ba’a Kiwang sebagai pemain organ sekaligus ketua Setanggi Timor, Amran Talib sebagai pemain gitar, Kiang Lemaya sebagai pemain biola, Bahrun Kiwang sebagai strum bass serta beberapa pemain lainnya yang memainkan gambus dan juga rebana. Penyanyi pengiring yang sering tampil bersama mereka antara lain Nuraini, Bea Nakmanas, dan beberapa personil lainnya yang tidak diketahui lagi namanya.
Tarian serampang 12 dan tari piring merupakan jenis tarian yang sering ditampilkan oleh para penari ketika mengiringi pertunjukan Setanggi Timor.
Pada pertengahan tahun 1950an hingga akhir tahun 1970an, musik orkes melayu, keroncong serta folk mempunyai penggemar yang cukup banyak di Kota Kupang. Mengingat pada masa-masa itu hiburan khususnya pertunjukkan musik, masih sangat minim sehingga munculnya grup-grup musik orkes melayu dan keroncong mendapatkan tempat tersendiri di hati masyarakat Kota Kupang.
Setanggi Timor juga mempunyai andil bagi berdirinya Madrasah Darul Islam yang sekarang merupakan SD Muhammadiyah Kupang. Mereka menyisihkan sebagian dari hasil pertunjukkan mereka untuk membangun Madrasah Darul Islam yang kemudian didirikan pada tanggal 1 Oktober 1961.
Pada masa itu, selain Setanggi Timor, terdapat juga grup musik orkes melayu lainnya yaitu grup musik orkes Cempaka yang berasal dari daerah Airmata serta grup musik Sedap Malam yang merupakan grup musik keroncong yang berasal dari daerah Bonipoi. Persaingan antara ketiga grup musik ini memiliki cerita yang cukup unik. Keinginan para pemain untuk dipuji dan dihargai menjadi alasan di balik ceritanya. Setiap salah satu grup yang tampil, mereka akan menempatkan mata-mata di tengah para penonton untuk memata-matai apakah ada penonton yang menjelek-jelekan permainan grup musik yang sedang tampil dan jika mata-mata tersebut kedapatan menjelekkan grup musik tersebut, mata-mata tersebut akan dipukuli, diusir dari tengah pertunjukkan dan pertunjukkan pun tidak dilanjutkan.
Kampung Solor dan Setanggi Timor
Kampung Solor yang adalah tempat lahirnya grup orkes melayu Setanggi Timor, merupakan salah satu kota modern di Kupang pada saat itu. Hal itu tidak terlepas dari sejarah panjang yang mengikutinya. Dalam peperangan antara Belanda (VOC) dan Portugis, VOC mendatangkan pasukan dari berbagai daerah. Diantara penduduk daerah yang didatangkan ke Kupang terdapat penduduk dari Solor, Flores Timur. Mereka didatangkan dari Solor ke Kupang pada tahun 1653.
Penduduk dari Solor umumnya beragama Islam. Salah satu tokoh yang berpengaruh diantara penduduk yang datang dari Solor adalah Atu Laganama (1749-1802). Atu Laganama merupakan tokoh yang lihai dan cerdik serta berjasa dalam mengalahkan Portugis.
Pada saat Atu Laganama dan pasukannya telah mengalahkan Portugis, ia tidak memenggal kepala panglimanya namun membiarkannya. Ia hanya memotong lidahnya sebagai bukti telah menang. Pasukkan lain yang datang setelah Atu Laganama melihat bahwa panglima tersebut telah tewas, kemudian mereka memenggal kepala panglima Portugis tersebut. Mereka membawanya kepada pihak VOC dan mencoba meyakinkan pihak VOC bahwa mereka yang telah mengalahkan Portugis.
Namun saat mereka mencoba meyakinkan pihak VOC, Atu Laganama muncul dan menanyakan kepada pasukan lain tersebut dihadapan VOC, jika mereka membawa kepala tersebut tentu kepala tersebut memiliki lidah. Akan tetapi setelah pasukan lain tersebut membuka mulut kepala panglima Portugis, lidahnya telah hilang. Atu Laganama pun kemudian menunjukkan kepada pihak VOC bahwa lidah kepala panglima tersebut ada padanya.
Pihak VOC pun kemudian memberikan hadiah kepada Atu Laganama dan pasukkannya. VOC memberikan wilayah Merdeka kepada Atu Laganama dan pasukkannya. Namun Atu Laganama dan pasukkannya memilih Kampung Solor sebagai wilayah yang akan mereka tempati. Mereka memilih Kampung Solor karena kebanyakan dari mereka bekerja sebagai nelayan dan Kampung Solor merupakan wilayah yang dekat laut serta merupakan wilayah di mana kapal-kapal sering berlabuh.
Pada saat pihak VOC masih menjajah, mereka mengeluarkan perintah bahwa penduduk lain tidak boleh menempati wilayah Kampung Solor, sebab Kampung Solor adalah tempat khusus untuk orang-orang Solor. Dari Kampung Solor inilah kota modern di Kupang pada abad ke 16 hingga abad ke 18, kemudian lahirlah grup orkes melayu, Setanggi Timor 3 abad setelahnya.***
Referensi:
- Wawancara Marzuki Kalake, usia 96 tahun. Kampung Solor, 30 September 2022
- Wawancara Hamzah Minggi Iyang. Kampung Solor, 30 September 2022
- Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sejarah Sosial di Daerah Nusa Tenggara Timur. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional: 1983
- Stella Aleida Hutagalung. Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang “Belajar Dari Imam dan Pastor”. Hal. 157-184. PUSAD Paramadina: 2017