
Victor Rosenberg adalah putra dari Alfred Rosenberg. Sang ayah, Alfred, meninggal pada tahun 2005 di usia 93 tahun dan meninggalkan tumpukan arsip berupa surat-surat serta dokumen, di antaranya 110 surat dan kartu pos (postcard) dari saudara laki-laki, orang tua dan keluarga lainnya selama periode 1938-1946. Surat-surat tersebut mendokumentasikan pengalaman keluarga Yahudi yang tinggal di Jerman selama masa Holokaus (holocaust). Alfred pada saat itu berada di Amerika, sementara saudara dan orang tua yang mengirim surat kepadanya, berada di Jerman. Surat-surat ini berisi peristiwa-peristiwa pilu yang dialami oleh keluarga Rosenberg. Selama Alfred masih hidup, dia tidak pernah membicarakan isi surat-surat tersebut. Keluarganya pun tidak pernah bertanya karena mengetahui betapa menyakitkannya peristiwa-peristiwa yang tercatat di sana.
Pada tahun 2005 ketika Alfred meninggal, akhirnya Victor dapat membuka isi surat-surat tersebut. Dia kemudian berusaha mencari orang yang dapat melakukan transkripsi dan bahkan terhubung dengan orang-orang yang menerjemahkan surat ini baginya. Siapa sangka, kumpulan surat yang semula hanya dianggap arsip keluarga, rupanya menjadi sumber informasi yang begitu berharga. Rupanya, bagi para sejarawan surat-surat ini dapat memberikan gambaran mengenai apa yang sesungguhnya dialami oleh orang-orang Yahudi pada masa Holokaus. Sayang sekali ada beberapa pertanyaan yang memang tidak dapat dijawab karena jawabannya hanya dimiliki oleh Alfred yang tidak pernah bercerita, bahkan hingga matinya.
Kita tak perlu jauh-jauh mengambil contoh dari keluarga Rosenberg. Tengoklah kumpulan surat cinta keluarga Mandaru dan album perpisahan sekolah milik keluarga Riberu yang sempat dipamerkan dalam Pameran Arsip Publik Merekam Kota pada 17-31 Oktober 2020 lalu. Arsip surat-menyurat Keluarga Mandaru dan kumpulan pesan perpisahan angkatan milik Keluarga Riberu yang diletakkan di atas meja di tengah ruang pameran menjadi daya tarik tersendiri dalam penyelenggaraan pameran.
Setiap hari, banyak pengunjung berkerumun di sekitar meja di tengah ruangan tersebut, mengagumi bagaimana pasangan Mans dan Betty saling berkirim kabar ketika sedang berada dalam long distance relationship Kupang-Malang. Ketika pengunjung membaca surat-surat Mans dan Betty, mereka menikmati tulisan tangan yang indah dan kata-kata romantis yang tidak terdengar cringe. Mereka mengagumi bagaimana orang-orang muda pada tahun 1970an-1980an tidak memiliki teknologi berkirim pesan instan melalui WhatsApp atau SMS seperti sekarang sehingga mereka harus berkirim surat yang panjang, dengan tulisan tangan yang indah, di atas kertas yang bergambar bunga-bunga dalam berbagai warna. Mereka juga melihat bagaimana Oma Riberu menyimpan pesan-pesan perpisahan yang diberikan oleh teman-temannya, ditulis dengan begitu rapi tetapi singkat dan sarat makna.
Ketika Tim Pengarsipan berkunjung ke rumah Keluarga Mandaru, Frenny Mandaru, anak perempuan dari Mans dan Betty, bercerita selama ini kedua orangtuanya selalu memberitahu dirinya dan saudara-saudara yang lain bahwa mereka masih menyimpan surat-surat yang mereka kirimkan sejak sebelum pacaran hingga sudah menikah dan sempat menjalani hubungan jarak jauh. Tetapi Frenny menjelaskan bahwa baru hari itu, ketika Tim Pengarsipan datang, mereka melihat dengan mata mereka sendiri surat-surat tersebut. Arsip surat-menyurat itu disimpan dalam sebuah dus besar dan diberikan langsung kepada Tim Arsip. Kami membacanya dengan penuh senyum dan kekaguman! Sungguh pernah ada suatu masa di mana dua insan di Kota Kupang yang saling mencinta saling berkirim pesan melalui surat!
Dalam proses pengarsipan bersama Keluarga Riberu, Tim Pengarsipan bertemu dengan Ridon Riberu, cucu dari pemilik arsip, Sisilia Yosefin Riberu-Bentanone. Kami mendapatkan sebuah Album Perpisahan Sekolah yang berisi pesan-pesan teman sekolah Oma Riberu yang dituliskan kepadanya ketika perpisahan. Pesan-pesan itu ditulis dari tahun 1957-1958 di Kupang dan Oeba. Dalam percakapan dengan Ibu dari Ridon, Eti Riberu, yang merupakan anak pertama dari Oma dan Opa Riberu, kami mendapat informasi bahwa sebenarnya Oma menyimpan banyak sekali arsip dan memang suka untuk mengelola arsip-arsip miliknya. Oma memiliki sebuah lemari khusus di mana ia menyimpan semua album foto, beberapa album perpisahan semasa sekolah, bahkan hadiah pernikahan Oma dan Opa Riberu pada tahun 1960.
Eti bercerita bahwa ketika mereka masih kecil, Ibunya biasa mengumpulkan anak-anak sesudah makan malam, mengambil album foto miliknya dan bercerita kepada anak-anak mengenai orang-orang yang ada dalam foto di album tersebut. Namun sayang sekali sejak Oma meninggal pada tahun 2008 dan rumah mereka dibongkar, banyak arsip yang hilang dan bahkan sengaja dibuang. Eti menjelaskan bahwa mereka awalnya tidak merasa arsip-arsip tersebut cukup penting untuk disimpan. Dia juga mengakui bahwa mereka kurang telaten dalam mengelola arsip-arsip milik ibunya tersebut. Keluarganya tidak lagi mengenal orang-orang yang ada dalam foto-foto milik ibunya. Dalam percakapan itu, Eti mengatakan bahwa jika dapat maka dia ingin memberikan semua arsip tersebut kepada SkolMus agar dapat dikelola dengan baik, dan dapat bermanfaat seperti saat Pameran Merekam Kota berlangsung.

Melihat Sejarah dari Sudut Pandang Baru
Bagi Tim Pengarsipan, pengalaman mengumpulkan arsip di Keluarga Mandaru dan Keluarga Riberu adalah sebuah pengalaman yang sungguh mencerahkan. Terutama berkaitan dengan bagaimana keluarga-keluarga menyimpan dokumen-dokumen ‘berharga’ yang mereka miliki seperti surat-surat dan pesan perpisahan dari teman-teman sebagai sesuatu yang memiliki nilai tak terhingga. Kumpulan arsip dari kedua keluarga Mandaru maupun Riberu menyisakan cerita mengenai peran arsip keluarga dalam membentuk sebuah memori kolektif mengenai sejarah sosial di Kupang di masa lampau.
Serangkaian pertanyaan yang muncul selama proses Merekam Kota adalah apa yang bisa dilihat dari ‘harta karun’ arsip yang dimiliki oleh keluarga kita? Apa hubungan arsip keluarga dengan perkembangan Kota Kupang? Potensi apa yang ditawarkan arsip keluarga dalam memahami sejarah Kota Kupang? Saya pikir poin dari Matheos Messakh, anggota Tim Kuratorial Merekam Kota, mengenai arsip parsipatoris, penting untuk dimaknai kembali di sini.
arsip-arsip keluarga memiliki peran dalam memaknai perkembangan Kota Kupang
Arsip partisipatoris, arsip keluarga yang dimiliki oleh keluarga-keluarga yang menjalani kehidupan di Kota Kupang, memberikan sebuah sudut pandang baru dalam melihat sejarah Kota Kupang. Ketika kita berbicara mengenai sejarah, yang terbersit dalam pemikiran kita biasanya adalah sejarah politik: siapa gubernur tahun 1970? Siapa Walikota Kupang pertama? dan lain-lain. Tapi yang patut kita sadari adalah sejarah sosial juga penting dalam proses kita memahami Kota Kupang. Dan sejarah sosial ini dapat kita ketahui melalui arsip keluarga yang dimiliki oleh keluarga di Kota Kupang.
Pengelolaan dan Pewarisan Arsip Keluarga
Tak dapat dipungkiri bahwa masih banyak dari kita yang belum memahami betapa pentingnya arsip milik keluarga bagi pemahaman yang lebih luas mengenai perkembangan kota. Kita biasanya melihat arsip keluarga hanya memiliki makna bagi keluarga itu sendiri. Foto perkembangan seorang anak dari usia balita hingga dewasa hanya berharga bagi ayah dan ibunya. Foto liburan keluarga hanya bermakna bagi keluarga itu untuk mengingat kembali peristiwa di masa lampau. Surat-menyurat ayah dan ibu selama masa pacaran tidak begitu penting untuk diketahui banyak orang. Tetapi sesungguhnya arsip-arsip keluarga seperti ini memiliki peran dalam memaknai perkembangan Kota Kupang.
Foto sebuah keluarga yang berlibur di Pantai Lasiana tahun 1980an mungkin tidak terlalu berarti. Tetapi bagaimana kalau ketika kita berbicara mengenai arsip-arsip liburan keluarga selama tahun 1980an kita kebanyakan menemukan foto-foto keluarga di Pantai Lasiana? Dengan sedikit penelitian lebih jauh mungkin kita akan mendapati bahwa pada masa itu belum ada banyak tempat nostalgia di Kota Kupang seperti bioskop, mall, taman kota, taman hiburan, dan lain-lain sehingga kebanyakan warga kota masa itu menghabiskan liburan mereka di Pantai Lasiana. Demikian juga kumpulan surat-menyurat Mans dan Betty mungkin tidak terlalu berarti bagi orang banyak tetapi ketika kita tahu bahwa pada masa itu belum ada Whatsapp, SMS, dan Facebook, surat-surat tersebut menjadi bukti bahwa komunikasi jarak jauh di tahun 1975-1980 dapat berjalan karena kehadiran Kantor Pos.
Salah satu isu lain yang penting juga untuk dibahas disini adalah proses pengelolaan dan pewarisan arsip keluarga. Harus diakui bahwa kegiatan mengelola dan menjaga arsip keluarga bukanlah perkara mudah. Seseorang memang harus memiliki ketekunan dan kecintaan terhadap kegiatan tersebut, atau paling tidak arsip-arsip tersebut memiliki nilai sentimental yang sangat tinggi bagi pemiliknya. Inilah yang kami temui selama proses Merekam Kota.

Melalui pertemuan dengan keluarga-keluarga kami melihat ada sebuah pola yang sama, selalu ada seseorang yang memang mencintai proses pengarsipan sehingga dia menjaga arsip-arsip keluarganya dengan rapi dan penuh ketekunan. Dan juga, entah kebetulan atau bukan, orang-orang ini kebanyakan adalah perempuan dalam keluarga tersebut. Oma Net Markus, Oma Susan Franz, Oma Sisilia Riberu adalah tiga orang perempuan dengan koleksi pengarsipan keluarga yang sungguh rapi. Tetapi kemudian yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana keberlanjutan dari arsip-arsip tersebut? Masalahnya bukan hanya sekadar keberlanjutan keberadaan arsip fisik tetapi juga keberlanjutan narasi yang ada di balik arsip-arsip tersebut. Banyak kali ketika kami menemui keluarga-keluarga, memang mereka masih menyimpan arsip fisik yang diturunkan kepada mereka tetapi narasi di balik arsip-arsip tersebut tidak diketahui lagi.
Arsip keluarga dapat menunjukkan sejarah sosial dari sebuah kota
Pengalaman kami berkunjung ke Keluarga Mandaru bisa menjadi salah satu contoh. Waktu itu adalah pertama kali Mans dan Betty menunjukkan surat-surat mereka kepada anak-anak. Dan itupun dilakukan karena kedatangan Tim Pengarsipan. Kisah Keluarga Riberu juga bisa menjadi contoh lainnya. Meski cerita diteruskan tetapi berbagai peristiwa seperti pembongkaran rumah menjadi penyebab beberapa arsip penting menghilang, terutama sejak kepergian Oma pada tahun 2008. Kisah yang sama kami temui di banyak keluarga lainnya yang kami temui. Sekali lagi, kecintaan terhadap pengelolaan arsip, kemampuan untuk mengelola, dan keberadaan sumber daya seperti ruang yang cukup, memang penting dalam proses ini. Dan tidak semua orang memilikinya. Oleh karena itu pertanyaan lanjutan yang perlu diajukan adalah siapa yang mampu melakukan hal ini? Saya pikir proses Merekam Kota adalah langkah awal yang baik.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengatakan bahwa arsip keluarga, sekali lagi, memiliki nilai yang berharga dalam memaknai perkembangan kota di mana kita berada. Arsip keluarga dapat menunjukkan sejarah sosial dari sebuah kota yang tidak dapat kita temui dalam arsip-arsip politik. Pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan dalam tulisan ini banyak yang belum memiliki jawaban. Proses Merekam Kota dapat menjadi sebuah proses kolektif berkepanjangan untuk menjawab dan memberikan solusi terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dari proses Merekam Kota juga kita dapati bahwa arsip keluarga sering dipandang sebelah mata dalam usaha pemahaman sejarah. Padahal, menjaga arsip keluarga bukan saja sekadar menjaga ‘harta karun’ keluarga tersebut tetapi juga membentuk rasa identitas keluarga. Arsip keluarga adalah sebuah situs makna dalam suatu masyarakat dalam kaitannya dengan sejarah sosial.***
Penulis: Ifana Tungga, Tim Pengarsipan Merekam Kota 2020
Sumber:
Transkrip Bincang Arsip 1, Keluarga, Romantisme & Perempuan dalam Pengarsipan, Merekam Kota, Oktober 2020
Rosenberg, Victor. “The Power of a Family Archive.” Archival Science 11, no. 1–2 (2011)
Wawancara dengan Eti Riberu, 21 Maret 2021.