Penulis: Yadivan Samuella Dano
Tingkat I merupakan sebuah wilayah kecil di Naikoten I yang berada di sekitar Kantor Gubernur dan Kampus Undana lama, yang menjadi saksi terbentuknya Kelas Menengah-Atas di Kupang. Di balik perumahan tua, tersimpan berbagai cerita menarik di masa lalu. Kehadiran kompleks yang didominasi orang-orang dari kelas menengah-atas di Tingkat I mempengaruhi berbagai perkembangan yang mewarnai perjalanan kota. Daerah tersebut mengalami berbagai perkembangan fisik seperti pembangunan kantor, kampus, dan perumahan maupun perkembangan non-fisik yang meliputi gaya hidup hingga mempengaruhi berbagai perkembangan tren yang kemudian mempengaruhi kehidupan sosial di wilayah Tingkat I bahkan mempengaruhi perkembangan kota.
Terbentuknya Kelas Menengah-Atas di Kupang
Setelah terbentuknya Provinsi NTT di tahun 1958, Kupang mengalami perkembangan di mana perkembangan ini akan mengisi ruang-ruang kosong di Kupang sebagai sebuah kota. Perkembangan-perkembangan tersebut tidak lepas dari kehadiran kelas menengah-atas di Kupang yang terbentuk di Tingkat I.
Tingkat I merupakan kompleks yang terbentuk di daerah sekitar Kantor Gubernur lama di Naikoten I. Daerah tersebut mulai dikenal dengan nama Tingkat I karena dipengaruhi oleh kehadiran Kantor Daerah Tingkat I di tahun 1958 (sekarang Kantor Gubernur). Keberadaan Kantor Daerah membuat banyak pegawai dari Bali yang waktu itu sebagai pusat pemerintahan Propinsi Nusa Tenggara didatangkan, kedatangan para pegawai tersebut juga dipengaruhi oleh kurangnya SDM untuk menjalankan kegiatan perkantoran di awal berdirinya Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kedatangan para pegawai dari luar kupang membentuk sebuah ruang berkumpul baru dengan menghadirkan perumahan pegawai di tahun 1958, yang dihuni oleh para pejabat sebagai rumah dinas di awal berdirinya Provinsi NTT. Di kemudian hari, rumah-rumah dinas tersebut disewa-beli.
Setelah terbentuknya kantor dan perumahan pegawai di Tingkat I, berselang beberapa tahun kemudian Universitas Nusa Cendana (Undana) sebagai Universitas pertama di NTT dibangun pada tahun 1962 di Tingkat I. Kehadiran Undana menjadikan daerah Tingkat I semakin ramai, karena selain sebagai pusat pemerintahan provinsi, daerah tersebut juga sebagai pusat pendidikan di masa lalu. Kehadiran Universitas Nusa Cendana juga mempengaruhi pembangunan perumahan dosen di kompleks Tingkat I. Pembangunan perumahan pegawai dan dosen terus terjadi dan semakin masif pada masa pemerintahan Gubernur El Tari.
Terbentuknya Kantor Gubernur dan Universitas Nusa Cendana menjadikan daerah Tingkat I sebagai salah satu pusat keramaian di Kota Kupang. Selain itu, kehadiran Kantor Gubernur dan Universitas Nusa Cendana juga membentuk sebuah pemukiman baru yang didominasi oleh orang-orang dari kelas sosial menengah-atas yang kebanyakan adalah pegawai dan dosen. Kehadiran daerah yang diisi oleh orang-orang dari kelas menengah-atas ini memberi warna baru dalam perjalanan kota dan memiliki pengaruh yang signifikan dalam perkembangan kota.
Kehadiran Tingkat I mengisi berbagai kekosongan dalam kota yang kemudian membentuk ruang-ruang baru yang terkadang menggeser ruang-ruang yang sudah ada dalam mempengaruhi perkembangan kota. Berdirinya perumahan pegawai dan perumahan dosen di Tingkat I menjadikan daerah tersebut sebagai salah satu daerah dengan keistimewaan tersendiri di Kota Kupang. Dengan demikian, kompleks dengan mayoritas pejabat dan dosen menjadi karakteristik Tingkat I.
Tingkat I dan Perkembangan Kelas Menengah-Atas di Kupang
Sebagai sebuah pemukiman, Tingkat I tentunya tidak lepas dari aktivitas sosial. Orang-orang di Tingkat I mayoritas berasal dari luar Kupang seperti Bali, Maluku, dan Flores sehingga mereka tidak memiliki keluarga di Kupang. Berdasarkan cerita dari Lalong, salah satu anggota Antiqone, orang-orang di Kompleks Tingkat I semuanya adalah keluarga dan itu menjadi moto mereka “bukan satu darah tetapi satu keluarga.” Mereka lebih banyak menghabiskan waktu bersama dalam berbagai ruang berkumpul yang mereka ciptakan dan menjadi hiburan mereka.
Olahraga merupakan salah satu medium yang dijadikan warga Tingkat I untuk berkumpul dan bersosialisasi, mulai dari bermain tenis, tenis meja, bulu tangkis, dan sepak bola. Di tahun 1970-an olahraga tenis menjadi salah satu olahraga yang disenangi untuk dimainkan oleh para pejabat di Tingkat I. Permainan ini juga diperlombakan di lapangan tenis Tingkat I. Berdasarkan cerita dari Naldy Markus, salah satu anggota antiqone, selain tenis permainan seperti tenis meja, bulu tangkis dan sepak bola cenderung lebih digemari oleh anak-anak muda di Tingkat I yang dimainkan di sekitar rumah mereka dan menjadikan permainan tersebut sebagai ruang berkumpul dan hiburan bagi mereka.
Selain ruang-ruang tersebut, area sekitar tiang listrik dan deker juga menjadi ruang berkumpul bagi anak-anak di Tingkat I. Jam-jam mereka untuk berkumpul tidak sembarang, dikarenakan orang tua mereka yang kebanyakan memprioritaskan pendidikan. Anak-anak Tingkat I biasanya berkumpul sekitar pukul 15.30 sampai 17.30. Anak Tingkat I berkumpul dengan berpakaian necis dan berbau harum, biasanya mereka duduk di area sekitar tiang listrik, deker dan pinggir jalan untuk berbagi cerita dengan tujuan tertawa bersama.
Permainan yang dimainkan di Tingkat I pada masa itu, tentunya merupakan permainan elit yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu. Melalui permainan-permainan tersebut, menggambarkan dengan jelas kelas sosial orang-orang di Tingkat I pada masa itu. Tingkat I dengan mayoritas masyarakatnya yang adalah para pejabat, Tingkat I kerap menjadi barometer tren terbaru. Anak-anak para pejabat dan dosen, yang sering menemani orang tua mereka dalam perjalanan dinas ataupun liburan ke berbagai daerah di Indonesia, membawa pulang beragam gaya hidup dan tren terbaru. Hal ini menjadikan Tingkat I sebagai salah satu kawasan paling disorot di Kupang, dimana gaya hidup mereka yang berbeda dan selalu mengikuti perkembangan tren di Indonesia. Seringkali berbagai tren seperti pakaian dimulai dari Tingkat I, karena pakaian yang mereka kenakan adalah pakaian yang sedang tren di luar dan belum dijual di Kupang.
Antiqone merupakan nama gaul anak Tingkat I yang sudah ada sejak dulu. Nama antiqone cukup terkenal di Kupang dan mereka dikenal sebagai anak-anak gaul waktu itu. Mereka kelihatan sangat berbeda dengan anak-anak Kupang pada umumnya dan bisa dibedakan dari style mereka. Tingkat I merupakan daerah dimana berbagai tren di Kupang dimulai yang dipopulerkan oleh antiqone.
Di tahun 1970-an tren bermusik secara berkelompok (band) di Indonesia termasuk Kupang cukup ramai dan dari band inilah berbagai tren pakaian dikenal masyarakat. Welfart Brothers merupakan band asal Tingkat I yang mulai eksis sejak tahun 1960-an dan menjadi salah satu band yang terkenal di Kupang. Welfart Brothers juga menjadi salah satu band yang mempopulerkan gaya pakaian celana terompet (cut bray) dan baju ketat di Kupang. Selain tren pakaian, tren dance di Kupang juga di awali di Tingkat I pada tahun 1980-an awal. Tingkat I sebagai salah satu tempat yang mana dance di Kupang mulai di perkenalkan. Antiqone (Anak Tingkat I) selalu menampilkan dance atau yang biasa mereka sebut dengan tari pata-pata yang dilakukan oleh anak-anak remaja dan pemuda dalam berbagai perayaan di Tingkat I, seperti perayaan valentine dan ulang tahun yang menjadi budaya mereka dimana anak antiqone yang berulang tahun ke 17 biasanya mengadakan pesta dan menampilkan dance, dance yang ditampilkan dalam berbagai acara di Tingkat I selalu menarik perhatian anak-anak hingga orang tua. Dance di Tingkat I dilakukan dengan atraksi menarik dan kerlap kerlip lampu disco yang membuat penampilan mereka semakin menarik. Tingkat I menjadi tempat di mana dance di Kupang bermula hingga menjadi tren di Kupang pada tahun 1980-an hingga tahun 2000-an awal. Lomba-lomba dance di tahun 1980-an kebanyakan dijuarai oleh anak-anak Tingkat I yang mempopulerkan dance di Kota Kupang. Berselang beberapa tahun kemudian tren dance mulai diikuti oleh anak-anak Kuanino yang dikenal dengan nama Galaksi (Gabungan Laki-laki Eksentrik) dan Oebobo yang dulunya beberapa dari mereka juga bergabung dengan Antiqone.
Selain itu, di tahun 1980-an permainan sepatu roda juga menjadi permainan yang digemari anak-anak Tingkat I, biasa dimainkan di Lapangan Undana dan Jalan Palapa sehingga terbentuklah sebuah club sepatu roda Dizzydog yang cukup terkenal dan menjadi salah satu club sepatu roda yang sering menjuarai pertandingan sepatu roda di Undana. Terdapat juga club sepatu roda Pussycat dari Oebobo yang menjadi saingan mereka. Kedua club ini sering bermain bersama dan berlomba di Undana lama sehingga menciptakan keramaian karena ditonton oleh orang-orang dari Tingkat I dan Hati Mulia. Mereka bermain menggunakan sepatu roda besi dengan 4 roda (2 roda di depan dan 2 roda di belakang) dengan melakukan berbagai atraksi menarik seperti berlompat, berputar dan zig-zag sambil mengejek lawan tanding sehingga semakin seru saat ditonton. Di tahun 1980-an juga tren bermain sepeda di Kota Kupang cukup ramai dan Antiqone cukup terkenal waktu itu karena hampir semua Antiqone yang bermain sepeda, mayoritasnya menggunakan sepeda BMX yang pada waktu itu harganya cukup mahal.
Selain berbagai tren tersebut, di tahun 1980-an tren mengoleksi label nama mulai ramai di Tingkat I dan seluruh Kota Kupang. Mengoleksi label nama dalam buku catatan menjadi ajang untuk mencari teman sebanyak-banyaknya untuk saling bertukar label nama. Label nama dipesan dari kantor pos dengan berbagai bentuk menarik yang berisikan nama dan alamat yang kemudian dipakai untuk bertukar label nama dengan orang yang mereka kenal, sehingga semakin banyak bergaul maka semakin banyak label nama yang dikumpulkan. Tren ini juga menjadi kesempatan bagi anak-anak muda waktu itu untuk pendekatan dengan orang yang mereka sukai.
Kondisi ekonomi yang sangat berbeda dengan masyarakat Kupang lainnya pada masa itu membuat tren-tren yang dibawa oleh Antiqone sangat disorot. Akibatnya, Antiqone dianggap sebagai salah satu barometer gaya hidup terkini di Kota Kupang pada masa itu. Kehadiran Kantor Gubernur, Undana, dan pemukiman di Tingkat I membentuk ruang berkumpul baru yang kemudian mempengaruhi perkembangan Kota. Tingkat I telah melahirkan berbagai dinamika dan pengaruh yang signifikan dalam Perkembangan Kota, baik dalam aspek sosial, budaya, maupun mempengaruhi pembangunan di Kota Kupang.
Pengaruh Kelas Menengah-Atas Terhadap Pergeseran Pembangunan Kota
Tingkat I sebagai kompleks elit waktu itu dengan orang-orang yang berpenghasilan tetap tentunya mempengaruhi berbagai pembangunan di Kota Kupang yang juga menargetkan orang-orang dengan penghasilan yang stabil. Pembangunan Pasar Kasih di tahun 1974 dipengaruhi oleh beberapa faktor. Berdasarkan cerita dari Nicky Ully, faktor utama pembangunan Pasar Kasih dikarenakan daerah pasar lama yang merupakan kawasan jalur hijau (kawasan bebas bangunan) sehingga mengharuskan pemerintah melakukan pemindahan pasar. Namun, salah satu faktor dipilihnya Naikoten I sebagai lokasi pembangunan pasar kasih adalah pengaruh Tingkat I sebagai pusat keramaian waktu itu dimana Wilayah Tingkat I sebagai tempat aktivitas perkantoran, perkuliahan dan kehidupan sosial kelas menengah-atas yang terjadi di wilayah tersebut. Oleh karena itu, meskipun terjadi penolakan besar-besaran oleh masyarakat sekitar, tempat yang awalnya merupakan perkampungan Suku Rote tersebut tetap dipaksakan untuk pembangunan Pasar Kasih.
Pembangunan Pasar Kasih yang seakan dipaksakan ini menghadirkan ruang-ruang baru tetapi juga menggeser ruang-ruang yang sudah ada sebelumnya, masyarakat Kampung Rote dipaksa tunduk pada pemerintah yang kemudian menyulap perkampungan mereka menjadi sebuah pasar dengan mendatangkan para pedagang dari pasar lama. Berdasarkan cerita dari Min Djawa, salah satu pedagang di Pasar Kasih, sekitar 80-90% pedagang dari pasar lama dipindahkan ke Pasar Kasih atau dengan nama lain yang dikenal masyarakat Kota Kupang dan masih eksis hingga saat ini yaitu Pasar Inpres.
Di tahun 1970-an, pembangunan pertokoan yang semulanya berpusat di Kota Lama mulai bergeser ke arah Kuanino hingga Naikoten. Masuknya bemo di tahun 1970-an awal dengan satu jalur perjalanan dari Terminal Kupang menuju Oepura menjadi salah satu faktor bergesernya pembangunan pertokoan ke arah Kuanino hingga Naikoten. Bemo menjadi satu-satunya transportasi umum yang diakses oleh para pegawai dan mahasiswa yang beraktivitas di Tingkat I, yang merupakan pusat keramaian waktu itu. Sehingga, secara tidak langsung, pembangunan pertokoan yang mulai bergeser ke arah Kuanino dan Naikoten dipengaruhi oleh aksesibilitas transportasi dan aktivitas di Tingkat I, yang juga mempengaruhi perkembangan infrastruktur dan ekonomi di Kota Kupang.
Kejayaan Yang Meredup Dalam Memori
Tingkat I, sebuah daerah bersejarah yang memiliki peran penting dalam perjalanan perkembangan kota. Gedung, perumahan, dan kendaraan tua di Tingkat I menjadi saksi bisu kejayaan Tingkat I di masa lalu. Tingkat I merupakan sebuah contoh nyata kelas menengah-atas memainkan peran dalam membentuk sebuah kota. Kompleks yang berisikan para pejabat pemerintah dan dosen ini membuatnya seolah-olah memiliki hak istimewa untuk menentukan arah perkembangan kota, mulai dari tren hingga pergeseran pembangunan yang seringkali menguntungkan mereka karena jabatan maupun kondisi ekonomi yang mereka miliki.
Ingatan akan Tingkat I sebagai pusat pemerintahan, pendidikan dan pemukiman elit dengan berbagai tren yang mereka ciptakan masih membekas di ingatan sebagian warga kota. Namun, seiring berjalannya waktu, Tingkat I yang dulunya merupakan pusat keramaian kini menjadi daerah yang sunyi dengan masyarakatnya kebanyakan adalah orang-orang tua. Tingkat I seakan menua bersama berbagai tren yang mereka ciptakan. Kini, berbagai tren baru yang lahir di Kota Kupang tidak lagi berawal dari Tingkat I dan mulai bergeser ke berbagai daerah lain di Kota Kupang.
Gedung-gedung tua yang dulu menjadi saksi bisu kejayaan Tingkat I kini berdiri kokoh namun sepi. Dulu, setiap sudut Tingkat I menyimpan cerita dan kenangan. Kini, cerita-cerita itu seakan terkubur dalam-dalam, hanya dapat ditemukan dalam ingatan segelintir orang tua. Seolah terlupakan oleh waktu, Tingkat I kini hanya menjadi bagian dari sejarah kota yang perlahan memudar dari ingatan.
Sumber :
Wawancara Markus Ndoen. Naikoten I, 4 April 2024
Wawancara Nicky Ully. Naikoten II, 6 April 2024
Wawancara Naldy Markus. Naikoten I, 19 April 2024
Wawancara Min Djawa. Fontein, 12 Juni 2024
Wawancara Ina Tiluata. Naikoten I, 19 Juni 2024
Wawancara Darius Lau Kolly. Naikoten I, 26 Juni 2024
Wawancara Lalong. Naikoten I, 12 Juli 2024