Penulis: Ade Ayu Soraya
Tidak hanya manusia, tempat juga punya andil besar dalam membentuk kenangan tentang sebuah kota. Seperti Jogja yang punya Malioboro, ataupun Jakarta yang punya Blok-M, Kupang juga punya pertokoan Kuanino. Kawasan ekonomi yang telah lama menjadi lebih dari sekadar pusat perdagangan, tetapi juga memegang peranan penting untuk mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Dari toko sembako yang menjual sumber kebutuhan pokok, kios-kios kecil yang menjadi favorit pejalan kaki, toko buku yang selalu ramai di pertengahan dan awal tahun, hingga toko alat musik yang didatangi anak band ataupun orang tua yang ingin membelikan anaknya kado ulang tahun, semuanya berkontribusi pada terbentuknya ikatan sosial yang erat. Tulisan ini akan mengulas bagaimana kawasan pertokoan mempengaruhi dinamika sosial di Kuanino, serta perubahan yang terjadi seiring perkembangan zaman.
Perkembangan Kuanino Dari Kawasan Sepi Hingga Pusat Pertokoan
Pertokoan di Kuanino menjadi salah satu penggerak ekonomi dan tempat berkumpul yang paling dekat dengan masyarakat Kota Raja. Terkenal sebagai lokasi yang strategis dan ramai saat ini, ternyata pembangunan toko-toko di Kuanino bermulai sejak tahun 1970-an akhir. Menurut hasil wawancara dengan Daud Amalo, awal pembangunan dimulai dari rumah-rumah bebak sederhana yang kemudian bertransformasi menjadi toko-toko di pinggir jalan, lalu mulai merambat pembangunan rumah-rumah di belakang pertokoan. Toko-toko yang ada awalnya dimiliki oleh Etnis Tionghoa, dikarenakan orang-orang Kota Kupang menjual tanahnya untuk dibangun toko. Seiring pembangunan toko-toko, penduduk asli mulai bergeser menjauhi pusat kota, yaitu ke daerah Sikumana, Oebufu, dan Kayu Putih. Mereka pindah menjauh karena harga tanah relatif lebih murah dibanding di pusat kota.

Jalanan Kuanino. Arsip: Keluarga Jeheskiel Bunga
Pemilihan Kuanino sebagai pusat pertokoan mempunyai beberapa alasan. Alasan yang pertama karena Kuanino merupakan jalur menuju kediaman dua raja; Raja Nisnoni di Kupang, dan Raja Koroh di Amarasi. Oleh sebab itu jalan-jalan protokol pun dibangun untuk mempermudah mobilitas. Seiring waktu, dimulailah pembangunan pusat pemerintahan dan perguruan tinggi pertama di Nusa Tenggara Timur yaitu Kantor Gubernur dan Universitas Nusa Cendana, yang berlokasi di Naikoten. Kuanino pun menjadi penghubung antara pusat pemerintah yang lama di Kota Lama dan yang baru di Naikoten. Selain itu, ada hubungan kekerabatan antara pemilik toko di Kuanino dengan Kota Lama, yang merupakan pusat perdagangan pertama di Kota Kupang. Dengan alasan-alasan tersebut, pemilik usaha melihat adanya peluang sehingga memilih membuka toko di Kuanino. Pembangunan jalan yang melebar pun membantu akses yang menjadikan Kuanino ramai dan banyak dibangun toko-toko.
Pertokoan dan Kehidupan Masyarakat Kuanino
Pertokoan Kuanino menjadi pusat interaksi sosial dan tempat masyarakat berkumpul. Kehadiran pertokoan juga menciptakan banyak lapangan kerja bagi penduduk sekitarnya dan meningkatkan keadaan ekonomi. Salah satu contohnya adalah Toko Victory (sekarang bangunannya menjadi Toko Prima) yang menjual lemonade hasil diproduksi sendiri, sehingga memerlukan banyak pegawai. Pegawainya adalah orang-orang yang tinggal di sekitar Toko Victory. Adapun bangunan Presiden Teater yang dulunya adalah pabrik rokok milik Ang Hauw Lang sebelum menjadi bioskop. Orang Rote yang tinggal di sekitarnya bekerja sebagai buruh untuk membuat rokok di pabrik.
Selain sebagai pusat interaksi sosial, pertokoan Kuanino juga memiliki berbagai peran lain. Toko-toko di Kuanino adalah penyuplai barang grosir untuk kios-kios kecil di sekitar Kota Kupang. Hubungan timbal balik lainnya adalah penduduk yang tinggal di belakang pertokoan, terutama yang berdekatan dengan mata air, menjual air dalam drum untuk dijual keliling ke toko-toko. Berdasarkan tutur Gama Fero, dkk., yang hidup di Kota Raja, turut merasakan dampak sosial dari hadirnya pertokoan, yaitu terjadi pengurangan premanisme di daerah Kuanino. Premanisme berkurang sejak tahun 2003-an karena mereka memilih menjadi ojek, mencari pelanggan yang selesai berbelanja di toko-toko, lalu berkembang menjadi ojek online hingga sekarang.
Untuk sektor pendidikan, ada Toko Buku Suci yang menjadi satu-satunya toko buku di Naikoten sebelum tahun 2000. Di sana tersedia buku pelajaran, buku bacaan, novel, buku-buku anak, poster, alat peraga edukasi, dan alat tulis kantor (ATK). Dikarenakan barang-barangnya lengkap, Toko Buku Suci menjadi pilihan masyarakat ketika berbelanja saat ingin membeli perlengkapan di sekolah dari dulu maupun sekarang. Kehadiran toko ini turut membantu perkembangan pendidikan khususnya untuk meningkatkan minat literasi di Kota Kupang. Di saat perkembangan teknologi belum semasif sekarang, kehadiran toko buku fisik sangat diperlukan untuk mempermudah masyarakat mengakses informasi. Hal ini pun menjadikan Toko Buku Suci akrab di telinga masyarakat. ATK yang dijual juga membantu peningkatan produktivitas dikarenakan produk yang dijual membantu pekerjaan menjadi lebih terorganisir dan efisien. Buku-buku bacaan yang dijual membantu mengembangkan imajinasi, kreativitas, serta nilai-nilai moral dan etika. Dari kehadiran sebuah toko buku dapat berefek jangka panjang pada pengunjungnya.
Di samping perannya di berbagai sektor yang telah disebutkan, pertokoan juga berperan besar dalam berbagai peristiwa penting Indonesia. Pasca kemerdekaan di mana kondisi ekonomi negara sangat mengkhawatirkan, tercetus sistem ekonomi Ali Baba (1953). Melalui sistem ekonomi ini, pengusaha asing harus membantu masyarakat lokal menjalankan usahanya dengan memberikan pelatihan dan memberi kredit kepada mereka. Para pemilik usaha di Kota Kupang saat itu, yang mana didominasi oleh orang Tionghoa, turut serta dalam sistem ekonomi Ali Baba. Pada saat terjadi krisis moneter (1998), program yang serupa kembali disosialisasikan oleh LSM dan dibantu pemilik pengusaha di Kota Kupang. Pelatihan yang dilakukan menghasilkan masyarakat mulai berminat pada bisnis dan membuka usahanya sendiri, kebanyakan membuka kios-kios kecil/warung kelontong. Meskipun tidak semua dapat menjadi pelaku usaha, tapi dampak yang dapat dilihat adalah banyaknya kios-kios kecil yang menyebar di penjuru kota, bahkan bertahan hingga kini. Contohnya kios milik Son Ludji yang berada di Fontein.
Saat terjadi kenaikan harga pasar yang tidak stabil dan melonjak tinggi, sektor pertokoan berusaha menjaga harga barang untuk tetap stabil. Dikutip dari Koran Surya Timor Edisi 1999, terdapat aksi yang sengaja dibuat pemilik usaha agar masyarakat tidak kesusahan. Misalnya, Toko Rukun Jaya menggelar aksi solidaritas dengan menjual 500 paket hemat dijual kepada warga Fontein, Kec, Oebobo. Hal ini sebagai upaya bantuan yang diberikan dengan harapan masyarakat lebih tenang menghadapi situasi krisis.
Semakin ramainya pertokoan di Naikoten dapat menghemat biaya akomodasi saat berbelanja. Misalnya untuk membangun rumah, tidak perlu jauh-jauh lagi sampai luar pulau untuk membeli bahan bangunan. Di Kuanino banyak dijumpai toko-toko bangunan yang bertahan sejak dulu hingga kini, barang yang dijual pun semakin lengkap. Kilas balik sebelum tahun 1970-an, saat ingin membangun gedung, bahan bangunan harus dikirim dari Jawa. Seperti Toko Remaja (1973), yang dibangun dari pasir, dikarenakan semen pada saat itu cukup mahal. “Toko ini dibangun dari pasir laut, karena dulu semen belum masuk Kupang dan dia pung harga masih mahal,” Ujar Hengky Elim, pemilik Toko Remaja. Faktor lainnya dikarenakan kapal dari Jawa membutuhkan waktu 2-3 bulan untuk sampai ke Kupang. Kapalnya pun berukuran kecil sehingga tidak bisa memuat barang yang besar. Toko bangunan yang ada juga hanya menjual palu, paku, dan perkakas lain. Namun untuk semen dan pasir sangat jarang, dikarenakan semen saat itu sangat langka. Kehadiran toko-toko yang dengan mudah ditemukan di tengah kota dan menyediakan barang lengkap, membuat masyarakat Kota Kupang menjadi sangat terbantu.
Perkembangan pertokoan Kuanino dipengaruhi oleh peningkatan ekonomi masyarakat kota. Indikator perkembangan ekonomi dapat dilihat dari kenaikan pendapatan per kapita dari penduduk, keadaan perumahan, pusat-pusat pertokoan dan pasar. Awalnya mata pencaharian masyarakat terbatas dengan bertani, beternak, nelayan, dan berdagang di pasar, salah satunya di Pasar Inpres Naikoten. Melihat ada harapan dari pasar tradisional, orang-orang Tionghoa pun memilih membangun toko. Lapangan kerja tercipta, masyarakat pun mempunyai pendapatan tambahan. Pada awalnya rumah-rumah dibangun dari ilalang (rumah bebak) dikarenakan kondisi ekonomi yang kurang baik, beralih ke tembok. Hal ini pun dilihat sebagai peluang bagi pemilik usaha, untuk menambah persediaan dan jenis barang di toko. Semakin banyaknya tempat usaha dan lapangan pekerjaan baru juga menjadi faktor kelahiran kelas masyarakat yang baru, sehingga masyarakat mampu untuk memenuhi kebutuhan lain. Rumah-rumah yang awalnya bebak beralih ke rumah tembok. Dengan berkembangnya pertokoan, kebutuhan masyarakat semakin terpenuhi.
Bercermin dari keuletan orang-orang Tionghoa dalam membuka toko, masyarakat etnis lain di Kota Kupang juga mulai membuka peluang untuk berbisnis, meskipun hal tersebut membutuhkan waktu. Melihat bagaimana lapangan kerja yang diciptakan oleh pertokoan meningkatkan kualitas hidup penduduk di Naikoten, masyarakat pun semakin memperlihatkan potensinya untuk mendukung laju perekonomian. Hal yang unik mengenai pola bisnis di Kota Kupang adalah jenis jualannya cenderung dikuasai oleh suku tertentu. Kecenderungan bisnis sebelum 2000-an adalah orang Tionghoa membuka toko dan berdagang, orang Sulawesi membuka kios dan menyebar di pasar, lalu orang Jawa membuka bisnis makanan khususnya warung di pinggir jalan.
Orang Kupang khususnya di sekitar Naikoten sendiri belum ada yang membuka toko, mereka berjualan air yang ditaruh di drum kemudian dipikul jika ada yang memesan dikarenakan adanya mata air. Mereka juga menyajikan buah di pinggir jalan yang diambil dari kabupaten, di pasar, ataupun dipikul keliling. Menurut hasil wawancara dengan Lexi, alasan orang Kupang tidak membuka toko adalah karena masalah modal dan tidak ada keahlian untuk mengelola bisnis. Hal ini juga yang melatarbelakangi mengapa orang Kupang yang awalnya tinggal di sepanjang Jl. Jenderal Soeharto menjual tanahnya pada para pengusaha Tionghoa dan memilih untuk pergi ke pinggiran kota. Seiring waktu orang Kupang mulai belajar bisnis dan membangun kos-kosan, selain karena kepemilikan tanah yang sudah jadi modal awal, persaingan sektor lain juga telah didominasi suku lain.
Meskipun usaha yang dibangun orang-orang Tionghoa mempunyai peran penting pada perkembangan kota, ada beberapa pil pahit yang terpaksa diterima seiring waktu. Pada tahun 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Peraturan Presiden (PP) 10 Tahun 1959 tentang Sosial-Ekonomi, Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Hal ini berdampak pada perkembangan kebudayaan Tionghoa di Kupang. Meskipun orang Tionghoa mendominasi pertokoan di Kuanino, nama-nama Chinese dan marga mereka diubah mengikuti marga setempat. Penggantian marga ini dikenal dengan istilah “adopsi.” Perayaan Imlek tidak boleh dilakukan, sekolah China juga ditutup. Bahkan dalam hal kepercayaan, orang Tionghoa dipaksa untuk menganut agama mayoritas penduduk. Hampir tidak ada yang beragama Buddha di Kota Kupang. Kebanyakan budayanya dipaksakan untuk hilang. Hal ini pun mengakibatkan peran pertokoan pada bidang kebudayaan tidak terlalu terlihat.
Produk Toko-Toko Tua dari Masa ke Masa
Dalam dunia bisnis, inovasi dan evolusi terkait produk jualan harus terus dikembangkan, entah karena mengikuti minat masyarakat, tren, ataupun perkembangan zaman. Hal itu juga dilakukan oleh toko-toko tua di Kuanino dari masa ke masa. Misalnya Sun Ria Optikal, awal berdiri dengan nama Sun tahun 1953 yang menjual alat-alat musik kemudian beralih ke sembako, lalu beralih nama menjadi Sun Ria Optikal pada 1970 yang menjual kacamata hingga sekarang. Bangunan Toko Remaja tahun 1960-an yang masih terbuat dari alang-alang/bebak, dulunya merupakan warung kelontong dan menjual minyak tanah. Musibah kebakaran rumah membuat mereka pindah ke LLBK. Pada tahun 1973 Toko Remaja dibangun kembali menjadi toko alat musik yang buka hingga saat ini. Adapun toko Duta Musik sudah berdiri dari tahun 2000, dan saat ini dikelola oleh generasi kedua. Toko ini punya kaitan dengan Toko Karangjaya, pemiliknya merupakan saudara kandung. Perkembangan produk Toko Karangjaya dimulai dari menjual mainan, jam, kaset, hingga pakaian. Produk yang dijual kurang lebih sama seperti toko Duta Musik. Menurut tutur Jeremy, anak pemilik Duta Musik, mengatakan Duta Musik sendiri awalnya merupakan toko yang menjual mainan sejak tahun 2000, kemudian beralih menjual kaset tahun 2010, lalu berubah lagi dengan menjual alat musik sejak 2017 hingga sekarang. Perubahan produk di toko mengikuti minat pasar, saat jumlah konsumen mulai sepi produk jualannya pun diganti.
Setelah berhasil melewati masa krisis ekonomi, maka kebutuhannya pun bertambah. Ada hal tersier lain yang perlu dipenuhi, entah untuk hobi atau demi mengikuti zaman. Hal ini juga yang terjadi pada keadaan di Kota Kupang. Pada awal merintis usaha di Kuanino, banyak toko yang memilih menjual sembako ataupun alat musik karena di masa itu penjual sembako merupakan tombak utama perdagangan. Selain itu, periode sampai 1970-an dunia hiburan Kupang terutama musik dan band tinggi peminat sehingga banyak toko yang mulai menjual alat-alat musik. Masa itu pun banyak band lokal yang sering tampil di acara hiburan karena pilihan orang mendengarkan musik terbatas, namun seiring berkembangnya zaman mendengarkan musik bisa melalui platform online.
Perubahan yang terjadi pada pertokoan di Kuanino mencerminkan bagaimana sektor perdagangan menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat sebagai konsumen. Toko-toko yang awalnya menjual barang-barang dasar seperti sembako dan alat-alat musik, bergeser untuk menjual kaset, pakaian, buku, kacamata, bahan bangunan, dan kini alat musik yang lebih modern. Fenomena ini menunjukkan bahwa keberlanjutan bisnis sangat bergantung pada kemampuan untuk beradaptasi dengan tren dan preferensi pasar yang selalu berubah. Hal-hal tersebut menjelaskan pentingnya toko-toko menyesuaikan diri dengan tren dan inovasi baru dalam dunia bisnis.
Toko-Toko Ikonik yang Tersimpan dalam Ingatan Masyarakat Dulu dan Sekarang
Persepsi bahwa Kota Kupang lama tertinggal dari kota-kota besar di luar sana sebenarnya tidak sepenuhnya benar. Kebanyakan masyarakat berpikir bahwa bioskop pertama di Kupang adalah Cinemaxx di Lippo Plaza yang dibuka tahun 2016. Padahal, jauh sebelum itu tahun 1970-an sudah hadir bioskop di gedung Presiden Teater yang berlokasi di Kuanino, bangunannya bahkan masih berdiri hingga kini meskipun sudah tidak beroperasi lagi sejak tutup di tahun 1990-an. Dalam gedung itu ada tempat show sehingga banyak artis dan musisi yang datang ke Kota Kupang. Kupang Theater–bioskop sekaligus tempat panggung pertunjukan–pernah menjadi tempat hiburan sekaligus promosi lagu, film, pertunjukan lainnya. Ada tahun-tahun yang membuat gap kosong khususnya di hiburan rakyat dan menjadikan Kupang seolah tertinggal. Mereka yang tahu mengenai cerita tentang tempat hiburan lama adalah para orang tua yang pernah hidup di masa itu ataupun orang yang tertarik dengan sejarah Kota Kupang.
Selain hiburan band ataupun bioskop, ada juga beberapa toko ikonik yang tersimpan dalam ingatan masyarakat dulu. Profil toko-toko jadul yang dikenang oleh masyarakat di sekitar Kuanino, misalnya Toko Victory, Toko Asia, Toko Merah, Minimarket Fenisia. Toko Victory menjual lemonade pertama di Kota Raja, informasi tentang toko ini hanya bisa didapat dari ingatan samar-samar Opa dan Oma yang sudah pernah mencicipi lemonade-nya karena sekarang tokonya sudah tidak ada. “Itu dulu lemonade pertama di sini. Dulu beta biasa beli lemode di Toko Victory tiap pulang sekolah,” ujar Jean Amalo pada wawancara tanggal 10 Mei di kediamannya, Kuanino. Selain itu, beliau juga menyebut Toko Asia yang menjual es lilin, bentuknya masih sama seperti es lilin yang dijual saat ini. Toko Merah menjual makanan dan berada dalam bangunan Presiden Teater. Toko Mi yang menjual roti, apabila berjalan melintasi toko maka akan tercium bau harum roti, hal ini yang menjadi daya tarik Toko Mi kala itu. Adapun Minimarket pertama di Kota Kupang adalah Fenisia (sekarang Sahabat Pasaraya) buka antara tahun 1980/1990-an.
Beberapa toko yang menimbulkan kesan, meskipun telah tutup permanen, tetap tersimpan dalam ingatan masyarakat yang pernah berkunjung dan menaruh memori di sana. Cerita dan kenangan masyarakat tentang toko-toko ini yang masih tersimpan hingga sekarang. Seperti tren sandal carvil yang dijual di Toko Rifel dan celana komprang/cutbray yang digandrungi anak muda, hal tersebut menjadi suatu hal manis yang dikenang saat dulu. Begitupun juga Toko Semangat yang menjadi supplier koran Pos Kupang dan memudahkan orang-orang yang hendak membeli, sehingga banyak orang yang gemar membaca koran.
Kapsul Memori dan Imajinasi
Seiring waktu, pertokoan di Kuanino semakin padat. Banyak dibuka toko-toko baru, ataupun bangunan yang direnovasi namun tetap mempertahankan bentuk aslinya. Ada juga bangunan yang hilang bentuk aslinya demi memenuhi model bisnis. Di samping itu, dulu maupun sekarang Kuanino tetap menjadi salah satu pusat pertokoan yang diharapkan terus memenuhi kebutuhan masyarakat Kupang. Meskipun perkembangan digital memaksa para pemilik usaha untuk mengubah taktik dan beradaptasi, mereka tetap mempertahankan tokonya. Akankah pertokoan Kuanino tetap mempertahankan keramaiannya di masa mendatang, atau kian sepi akibat hadirnya daerah lain yang juga semakin ramai?
Jika berimajinasi ke masa depan, harapannya Kuanino akan menjadi kawasan yang ramai gemerlap namun tetap aman untuk segala usia, beberapa bangunan toko yang saat ini terbengkalai digunakan kembali, dan semakin banyak pilihan toko dan pusat hiburan. Mimpi untuk berbelanja dari satu toko ke toko lain, dengan merasa bahagia karena bangunannya yang menarik untuk dipotret, kabel-kabel listrik yang ditata dengan rapi, bau khas toko yang tersimpan dalam memori, ataupun pernak-pernik memanjakan mata yang dipajang di etalase. Semuanya ingin disimpan dalam ingatan jangka panjang, dengan harapan akan menjadi cerita indah bagi generasi yang ingin tahu.
Sumber:
Wawancara Paulus Oktovianus Ndoen. Nunleu, 25 Maret 2024
Wawancara Jean Amalo. Kuanino, 10 Mei 2024
Wawancara Elizabeth Maria Daulima. Air Nona, 22 Mei 2024
Wawancara Hengky Elim. Toko Remaja. Kuanino, 23 Mei 2024
Wawancara Daud Amalo. Kuanino, 23 Mei 2024
Wawancara Ex Lasi. Jalan Pemuda, 10 Mei 2024
Wawancara Ina Tiluata. Tingkat I Naikoten, 19 Juni 2024
Wawancara Gama Fero, dkk. Jalan Pemuda, 21 Juni 2024
Wawancara Jeremy. Toko Duta Musik. Kuanino, 29 Juni 2024
Wawancara Ferdinan Khuama. Optik Sunria. Kuanino, 8 Juni 2024
Badan Perpustakaan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Bagian Depot Arsip. Koran Surya Timor Edisi April-Mei 1999.
Van Klinken, Gerry. 2015. The Making of Middle Indonesia (Kelas Menengah di Kota Kupang, 1930an-1980an). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.