Penulis: Aurelio Junior Wolo
Secara geografis Kota Kupang terletak di pulau Timor. Namun hal ini tidak serta-merta membuat penghuni Kota Kupang hanya berasal dari suku Timor. Hal ini dibuktikan dengan sering dijumpainya marga-marga (nama keluarga), yang merupakan marga yang berasal dari suku-suku yang berada di luar pulau Timor seperti suku Flores, Rote, Sabu, Kisar, Tionghoa dan lain sebagainya. Beberapa diantara suku-suku yang ada jumlahnya cukup banyak mendiami satu kelurahan tertentu, seperti pada Kelurahan Nunle’u yang kebanyakan berasal dari Suku Rote, lalu Kelurahan Airnona dan Fontein yang kebanyakan berasal dari suku Sabu. Mengapa hal ini bisa terjadi?
MEREKA YANG DATANG DAN PERGI
Periode kedatangan orang Rote ke Kupang terbagi dalam beberapa gelombang kedatangan. Pada masa kolonial, orang Rote dibawa dari pulau Rote pada tahun 1618 sebagai tawanan perang setelah kekalahan Raja-raja Rote melawan Belanda. Gelombang kedatangan berikut terjadi pada sekitar tahun 1700-an. Mereka direkrut oleh Belanda untuk berperang melawan musuh-musuh dari Belanda. Setelah perang mereka kemudian tinggal dan menetap sebagai petani dan peternak. Gelombang kedatangan terakhir yang datang sekitar tahun 1950 sampai tahun 1970-an. Di gelombang ini orang-orang Rote datang untuk mencari hidup yang lebih baik ataupun menuntut ilmu. Kedatangan orang-orang Rote ke Kupang masih berlangsung sampai saat ini.
Pada awal kedatangan, orang-orang Rote mendiami daerah Kota Lama dan juga daerah Namosain, kemudian berpindah ke seputaran Kuanino dan Nunle’u. Alasan orang Rote memilih daerah tersebut untuk bermukim dikarenakan daerah sekitar Kuanino dan Nunle’u belum seramai sekarang dan banyaknya pohon lontar yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup orang Rote. Hampir semua bagian pohon lontar bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan, mulai dari nira yang bisa diminum langsung ataupun diolah menjadi laru. Nira juga bisa digunakan sebagai bahan baku pembuatan gula lempeng dan gula air. Daun lontar yang bisa digunakan sebagai atap rumah dan juga haik (wadah). Hal tersebut yang menyebabkan pola pemukiman orang Rote selalu mengikuti pohon lontar.
Sementara itu, di sekitar tahun 1700-an orang Sabu datang ke Kupang juga dibawa oleh Belanda untuk berperang. Hal ini dikarenakan orang Sabu terkenal sebagai pemberani. Pasca perang, orang Sabu melanjutkan hidup sebagai petani dan pedagang. Beberapa diantara mereka tetap menjadi tentara bagi Belanda dan terus mendiami Kupang. Lalu gelombang kedatangan berikut terjadi pada awal kemerdekaan sekitar tahun 1945 sampai tahun 1960-an. Orang Sabu yang datang pada sekitar tahun ini, biasanya datang untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Mereka biasanya bertahan hidup dengan menjadi pedagang di pasar ataupun berjualan sembako. Sampai sekarang pun orang orang Sabu masih terus bermigrasi ke Kupang
Pada awal kedatangan, orang Sabu bermukim di daerah Nunbaun Sabu dan Airmata. Namun ketika Jepang masuk ke Kupang pada tahun 1942, Jepang membangun pusat pemerintahan di bekas peninggalan Belanda yaitu di Kota Lama. Akan tetapi sekutu terus menggempur daerah Kota Lama dengan serangan udara, sehingga orang-orang Sabu yang tinggal di daerah sekitar situ terdampak dan akhirnya Jepang memutuskan untuk mengungsikan pemerintahannya ke daerah Bakunase, Airnona dan sekitarnya. Hal ini pun membuat orang-orang Sabu pun ikut mengungsi di sana. Ketika pemerintahan Jepang selesai, orang-orang Sabu tetap menempati daerah Bakunase dan Airnona, sebagian dari mereka pun berpindah ke daerah Fontein yang pada waktu itu masih kosong tak berpenghuni.
Pada awal kedatangan orang-orang Rote ke Kota raja, area sekitar Nunle’u dan Kuanino, sudah terdapat orang-orang bersuku Timor yang mendiami daerah tersebut, dapat dibuktikan dengan gereja GMIT Koinonia yang pernah menjadi gereja yang tata ibadahnya menggunakan bahasa Timor, karena banyak dari mereka yang belum fasih berbahasa Indonesia, namun orang-orang Rote yang bermigrasi dari area Kota Lama kemudian turut mendiami daerah Kuanino dan Nunle’u. Orang-orang Rote yang terbiasa hidup secara berkelompok kemudian datang ke Nunle’u dalam jumlah yang semakin banyak sehingga terjadi perebutan ruang dan akhirnya orang-orang Timor bergeser ke arah Maulafa. Di Kuanino pun demikian, orang-orang Timor perlahan mulai menjual tanah-tanah mereka kepada orang Tionghoa, yang mulai membangun pertokoan di sekitar tahun 1970-an. Hal ini yang akhirnya menyebabkan jumlah orang-orang Timor di daerah Kota Raja semakin berkurang.

DARI WARISAN KE RUANG
Ketika orang-orang Rote datang ke Kupang, mereka datang bersama kebudayaan Rote. Mulai dari budaya kesenian, budaya pangan, bahasa dan lain sebagainya. Pada awal tahun 1950, ember merupakan benda yang belum banyak ditemui sehingga orang rote menggunakan haik yang terbuat dari anyaman daun lontar, sebagai alternatif untuk mengambil air dari sumber mata air ke rumah orang-orang Rote. Selain itu, keunikan yang paling menonjol dari orang Rote, salah satunya pemanfaatan bagian dari pohon lontar untuk diolah menjadi makanan atau minuman yang layak untuk dikonsumsi. Sekitar tahun 1950 sampai tahun 1960-an, orang Rote masih aktif mengkonsumsi gula air maupun gula lempeng sebagai makanan pokok. Budaya menyadap lontar juga salah satu budaya yang turut serta dibawa dan dipertahankan di Kupang. Air sadapan lontar umumnya diolah sebagai minuman yang disebut dengan“laru”. Laru merupakan minuman hasil olahan dari air sadapan lontar yang memiliki kadar alkohol rendah, yang pada akhirnya membuat banyak tempat penjualan laru atau biasa disebut dengan “pak laru” banyak bermunculan di area Kota Raja. Setiap kelurahan paling tidak memiliki satu atau dua pak laru, yang kemudian membuka sebuah ruang berkumpul bagi masyarakat Kota Raja.
Pak laru dulunya terletak di banyak tempat seperti Kuanino, Nunle’u, dan Fontein. Salah satu pak laru yang terletak di kelurahan Nunle’u yang beroperasi sejak tahun 1960-an sampai pada pertengahan 1970-an cukup ramai dikunjungi oleh orang-orang yang meminati minuman tersebut. Hal ini juga dikarenakan pak laru tersebut dekat dengan salah satu pasar yaitu Pasar Kuanino lama yang terletak di Jalan Banteng. Harga laru cukup terjangkau yaitu kisaran Rp50 untuk 1 botol laru, mengingat tarif bemo (angkutan umum) kala itu Rp100. Selepas berjualan di pasar, para pedagang hampir selalu mengunjungi pak laru untuk sekedar melepas penat dengan meneguk segelas laru.
Adanya pak laru memberikan berbagai dampak dalam kehidupan masyarakat, seperti ruang berkumpul yang tercipta sehingga memudahkan masyarakat untuk dapat berjejaring dengan sesama. Apalagi pada sekitar tahun 1960 hingga 1970-an, tempat hiburan yang dijadikan ruang berkumpul masih belum terlalu banyak dan sulit diakses karena masih mahal. Hal ini pun membuat pak laru dapat menjadi salah satu pilihan untuk berjejaring dengan orang lain. Adanya pak laru ini membantu dalam kenaikan perekonomian si pemilik. Dampak dari keberadaan pak laru tak selalu positif ada pula dampak negatif. Ketika mengonsumsi laru, para pengonsumsi akan merasakan sakit perut. Pada waktu itu kondisi sanitasi di Kota Kupang yang belum bagus, para pengonsumsi laru melakukan kegiatan BAB pada beberapa sungai yang berada di sekitar pak laru berada. Hal ini berdampak pada kebersihan sumber mata air yang merupakan sumber kehidupan dari masyarakat. Keberadaan pak laru berangsur-angsur berkurang akibat munculnya minuman-minuman seperti bir yang mulai eksis di tahun 1980-an.
Pak laru perlahan mulai hilang dikarenakan berkurangnya pohon lontar di sekitar pak laru,yang disebabkan oleh pembangunan pemukiman yang semakin masif, dengan berkurangnya pohon lontar maka mengakibatkan bahan baku yang mulai berkurang. Selain itu dikarenakan usia dari pemilik yang sudah tidak lagi produktif untuk menjalankan usahanya dan tidak dilanjutkan oleh keturunannya.
Selain itu acara-acara adat orang Rote juga menghasilkan ruang berkumpul, salah satunya adalah pada saat ada kedukaan. Dalam tradisi orang Rote, tujuh hari setelah kematian dan empat puluh hari setelah kematian akan diadakan pesta dan pemotongan hewan. Dalam pernikahan, tujuh hari sebelum peminangan akan diadakan pesta dan juga pemotongan hewan. Ini akan berlanjut sampai dengan peminangan dan pernikahan. Dalam pesta tersebut nantinya akan ditampilkan kesenian-kesenian dari pulau Rote seperti kesenian musik, di antaranya gong dan sasando. Kesenian tarian pun ditampilkan, salah satunya tarian foti. Berbagai acara adat dan tradisi ini merupakan ruang berkumpul yang diciptakan oleh masyarakat Suku Rote di Kupang untuk tetap terhubung dengan budaya dan jati diri mereka.
Sama halnya seperti orang Rote, orang Sabu juga datang ke Kupang dengan membawa kebudayaan Sabu. Salah satu contohnya adalah tarian. Ketika bulan purnama, orang-orang Sabu selalu berkumpul untuk melakukan tarian pado’a, Ini biasanya dilakukan di pinggir sungai/mata air. Orang-orang Sabu di Airnona melakukan tarian pado’a saat kolam Airnona kering. Begitu pula orang-orang Sabu di Fontein yang selalu melakukan tarian pado’a di pinggir Kali Dendeng. Di Sabu tarian ini dilakukan sebagai bentuk ucapan syukur atas hasil alam yang telah dipanen, sedangkan di Kupang tarian ini dilakukan untuk mempererat persaudaraan antar sesama dan juga merupakan salah satu sarana hiburan bagi mereka. Kebiasaan ini berlangsung hingga akhir tahun 1970-an.
AMA SABU DAN KIOS
Orang Sabu terkenal sebagai pedagang yang ulet. Pada tahun 1960 sampai tahun 1980-an, salah satu pedagang lokal yang sering dijumpai adalah orang Sabu. Tak terkecuali usaha dengan skala mikro seperti kios sembako ataupun kios rokok. Jika pada era sekarang kita mengenal banyak kios bugis, maka pada tahun 1960 sampai tahun 1980-an kios milik orang Sabu juga merupakan salah satu yang cukup eksis. Kios orang sabu ini dikenal dengan kios ama Sabu. “Ama” merupakan panggilan dari bahasa Sabu untuk laki-laki. Karena pemilik kios biasanya laki-laki, maka sering disebut kios ama Sabu. Kios milik orang Sabu terhitung sebagai reseller, karena biasanya mengambil stok-stok barang toko grosir milik orang Tionghoa. Untuk kios sembako, orang-orang Sabu biasanya membuka kios mereka di persimpangan jalan. Kios ama Sabu cukup eksis di jalan-jalan protokol serta kawasan perumahan seperti perumahan pegawai kantor gubernur dan perumahan dosen Universitas Nusa Cendana yang dulunya terletak di Naikoten I dan dikenal sebagai Tingkat I. Bentuk kios ama Sabu terbilang sangat ikonik, ukurannya kecil dan terletak di pinggir jalan. Setelah kedatangan orang Bugis, kios milik orang Sabu masih dapat bersaing dan tetap eksis hingga pertengahan 1980-an, akan tetapi lambat laun, kios milik orang Sabu mulai kalah saing dengan kios milik orang Bugis yang mungkin memiliki modal yang lebih besar diasumsikan dari bentuk kios orang Bugis yang jauh lebih besar. Namun beberapa kios milik orang-orang Sabu masih bertahan hingga sekarang dengan ciri khas bentuknya yang masih sama.

Selain kios sembako orang-orang Sabu juga membuka kios-kios rokok yang bentuknya sama seperti kios sembako, ataupun hanya menggunakan sebuah papan. Kios-kios rokok ini biasanya terletak di pusat keramaian dan tempat hiburan yang masih eksis di tahun 1970 sampai tahun 1990-an, seperti di depan Bioskop Raya, Kupang Theater, ataupun di pasar. Rokok yang cukup laris dijual saat itu seperti Bentoel Biru, Dji Sam Soe, Djarum dan lain sebagainya.
Penikmat rokok tentunya berasal dari semua kalangan, baik yang kelas sosialnya tinggi maupun rendah dan tentunya semua orang membutuhkan sembako, sehingga hal ini membuat terciptanya suatu ruang berkumpul yang tak terbatas segmentasinya, dengan adanya kios kios sembako dan kios-kios rokok milik orang Sabu. Melalui orang-orang yang datang berbelanja akan membuat roda ekonomi kota Kupang dapat bergerak dengan adanya kios-kios ini.
BERGESER DAN BERADAPTASI
Meskipun tidak ada yang tahu pasti siapa yang pertama kali mendiami Kupang, namun berbagai suku yang ada justru membentuk suatu keanekaragaman yang menarik untuk dilihat, banyak yang datang dan pergi dari dan ke Kupang, banyak ruang berkumpul yang hadir dan banyak pula yang hilang.
Suku-suku yang ada membentuk ruang berkumpul mereka masing-masing entah itu berasal dari budaya maupun kebiasaan hidup mereka, ruang berkumpul yang masih ada sekarang terus berusaha agar tidak tergerus jaman, ataupun tergerus kepentingan yang berkuasa. Kupang berhasil menjadi sebuah kota tempat orang-orang dari segala kelompok suku yang ada di NTT maupun Indonesia berkumpul, namun apakah semua dari mereka merasakan hal yang sama? Bisa iya, dan bisa tidak.
Sumber :
Wawancara Vanus Ndoen. Nunle’u, 25 Maret 2024
Wawancara Jehezkial Bunga. Nunle’u, 4 April 2024
Wawancara Nicky Ully. Naikoten 2, 6 April 2024
Wawancara Son Ludji. Fontein, 31 Mei 2024
Wawancara Marselinus Ome. Naikoten 2, 15 Juni 2024
Pdt Ebenhaizer Nuban Timo, Orang-orang Rote di Kupang